Peradilan Agama dan Reformasi Peradilan Yang Berorientasi Sosial
Resensi

Peradilan Agama dan Reformasi Peradilan Yang Berorientasi Sosial

Ada dua hal yang menarik tentang Peradilan Agama dalam buku ini yang tidak diketahui banyak orang.

Abdul Halim, SHI.
Bacaan 2 Menit

 

Ada tiga perubahan utama yang dilakukan peradilan agama dalam kurun waktu empat tahun terakhir: Sebuah Survey  bersekala besar yang bertujuan untuk mendapatkan tanggapan balik dari para klien pengadilan agama tentang persepsi mereka terhadap pelayanan yang diberikan;  Peningkatan transparansi pengadilan melalui publikasi berita dan informasi yang terperinci tentang hasil kinerja dan berbagai aspek pengadilan; dan penggunaan tolak ukur yang baru untuk meningkatkan akses yang selauas-luasnya terhadap pencari keadilan yang biasa termarjinalkan seperti wanita, orang miskin dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah terpencil (hal. 17).

 

Indonesia adalah negara dengan kurang lebih 230 juta penduduk, dimana 65 juta diantaranya adalah kepala keluarga dan 14 % dari kepala keluarga tersebut atau 9 juta diantaranya adalah wanita dan 94% dari semua wanita kepala keluarga tersebut berada di bawah garis kemiskinan. Sehingga, ketika Pengadilan Agama memberikan putusan dan mengeluarkan Akta Cerai maka secara formal mereka dianggap sebagai kepala keluarga dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan sehari-hari mereka. Sehingga Akta Cerai adalah dokumen kunci bagi Para perempuan yang telah lama ditelantarkan oleh suami-suami mereka untuk mendapatkan akses terhadap berbagai macam program-program kesejahteraan sosial pemerintah termasuk  jaminan kesehatan masyarakat, beras bersubsidi, bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi bulanan bagi anak-anak untuk memenuhi wajib belajar sembilan bulan (hal. 21)

 

Meskipun terbatasnya kewenangan,Pengadilan ini termasuk pengadilan yang paling sibuk. Pada tahun 2009 misalnya ada 257,798 perkara yang masuk ke pengadilan agama, bandingkan dengan 202, 754 kasus yang masuk ke peradilan umum, tentu dengan bobot perkara yang berbeda. Peradilan Agama menangani  perkara yang jumlahnya sangat besar dalam yuridiksinya. Karena hal ini, reformasi yang sedang dijalankan Peradilan Agama akan berdampak pada mayoritas pengguna peradilan di Indonesia. Lebih jauh, Peradilan Agama telah memainkan peranan yang krusial dalam Pembangunan dan Pengentasan kemiskinan.

 

Akses terhadap peradilan agama bagi rakyat miskin telah meningkat sepuluh kali lipat dalam dua tahun terakhir melalui program berperkara gratis bagi rakyat miskin (disebut perkara prodeo). Hampir semua kasus-kasus prodeo ini melibatkan wanita sebagai Penggugat. Hal ini sangat penting karena kasus-kasus hukum keluarga telah membantu wanita sebagai kepala keluarga (kurang lebih 14% dari 65 juta kepala keluarga di Indonesia) untuk melegalkan status mereka.  Implikasinya, ini akan memfasilitasi akses-akses program-program kesejahteraan sosial Pemerintah, termasuk bantuan langsung tunai, jaminan kesehatan, beras bersubsidi dan pendaftaran anak-anak untuk bersekolah. Meningkatnya kemudahan akses pada Pengadilan Agama akan membantu memecahkan siklus kemiskinan yang berurat akar  bagi wanita-wanita  kepala keluarga.

 

Jumlah beban perkara Pengadilan Agama juga merefleksikan bahwa kasus perceraian sekarang ini merupakan perkara yang paling banyak dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu 50% dari semua perkara yang masuk di semua lingkungan peradilan diikuti 33% kasus-kasus kriminal.  Dominannya perkara perceraian lebih mencolok lagi dalam konteks peradilan perdata, pada tahun 2009 misalnya dengan jumlah seluruh kasus perdata 310,000 kasus, 230,000 kasus diantaranya adalah kasus perceraiain, atau sekitar 74% dari total perkara perdata yang masuk ke seluruh pengadilan di Indonesia. Sebagaimana diketahui Peradilan Agama hanya memutus perkara perceraian bagi orang-orang muslim, sedangkan non-muslim di peradilan umum, dimana pada tahun yang sama peradilan agama memutus 98% dan peradilan umum 2%.

 

Semua beban perkara di peradilan agama ditangani para hakim tingkat pertama. Pada tahun 2009 Kurang dari 1 % dari semua kasus yang ditangani mengajukan banding dan pada tingkat Mahkamah Agung hanya 0,3% perkara yang mengajukan kasasi. Ini adalah sebuah indikasi bahwa kepuasan para pihak yang berperkara  terhadap putusan pengadilan. Meskipun  tentu saja, ada kemungkinan dikarenakan ketidak mampuan para pihak untuk membayar biaya perkara pada pengadilan tingkat lanjut, mengingat para pihak yang berperkara di peradilan agama adalah masyarakat miskin.

 

Dalam hal transparansi dan keterbukaan informasi , pada tahun 2005 Direktorat Jendaral Peradilan Agama Mahkamah Agung  tidak mempunyai wabsite, apalagi 372 Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, namun saat ini lebih dari 300 website di seluruh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dengan informasi yang melimpah tentang kinerja pengadilan, statistik penangan perkara, putusan dan keadaan para pegawai pengadilan dapat diakses secara online dengan sangat mudah.

Tags: