Peradilan Agama dan Reformasi Peradilan Yang Berorientasi Sosial
Resensi

Peradilan Agama dan Reformasi Peradilan Yang Berorientasi Sosial

Ada dua hal yang menarik tentang Peradilan Agama dalam buku ini yang tidak diketahui banyak orang.

Abdul Halim, SHI.
Bacaan 2 Menit

 

Pendukung Islamisasi yang konservatif di Indonesia seringkali dikritik karena sikap keras mereka terhadap para wanita, seperti dukungan mereka terhadap larangan berpakaian yang tidak menutup aurat bagi perempuan, atau larangan bagi mereka untuk bepergian secara bebas di tempat umum. Peradilan Agama justru telah melakukan upaya-upaya  hukum untuk meningkatkan posisi hukum dan kapasitas perempuan untuk mendapatkan hak-haknya dalam keluarga, khususnya hak dalam berperkara dalam kasus perceraian dengan cepat dan murah (hal. 8-12)  

 

Meskipun dalam catatan sejarahnya peradilan ini seringkali diabaikan, jumlah peradilan agama sebanyak cabang peradilan yang lain, dan keberadaannya lebih dekat keterikatannya dengan masyarakat pada umumnya secara individual dibandingkan peradilan lain. Buku ini juga menunjukkan bahwa bagian terbesar dari perkara yang diselesaikan Peradilan Agama adal perkara perceraian, dimana hampir 2/3 Penggugat adalah perempuan, dan biasanya mereka berhasil dalam gugatannya di Peradilan ini. Survey yang dilakukan tentang persepsi publik sepanjang tahun 2007-2009 terhadap pengguna Pengadilan Agama, menunjukkan performa yang konsisten dan dianggap baik di tengah reputasi dunia peradilan Indonesia yang sedang terpuruk.

 

Pada tahun 2007 dan 2009, Para Penulis terlibat dalam Survey terhadap para pengguna Peradilan Agama sebagai bagian dari sebuah proyek penelitian yang berjudul Access and Equity Study of the General and Religious Courts yang didanai oleh AusAID’s Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF). Dari 1000 responden yang disurvey ditemukan bahwa sebanyak 83,3% merasa ‘hakim mendengarkan mereka’, 88,2% merasa ‘mereka dilayani dengan sangat baik oleh para petugas pengadilan’, 73% merasa ‘para petugas bersedia dan berkenan menjawab pertanyaan dan menjelaskan prosedur-prosedur berperkara’, 74% merasa ‘perkara mereka telah disidangkan secara cepat dan efisien’ dan 62% merasa bahwa ‘proses persidangan sangat ramah’ dan yang terkahir 71.1% menyatakan ‘ akan kembali ke Pengadilan Agama jika mereka mengalami sengketa yang sama di masa yang akan datang’ (hal. 13-14).

 

Banyak hal yang bisa diperdebatkan dalam survey ini, namun paling tidak, indikasi-indikasi ini menunjukkan suatu pernyataan sikap kepuasan terhadap peradilan agama sangat baik.

 

Dari presfektif ini, menurut para penulis buku ini, Peradilan Agama dapat dilihat sebagai institusi peradilan yang paling berhasil. Hal ini dalam beberapa hal sangat ironis, sebagaimana peradilan ini secara historis telah lama diabaikan oleh pemerintah karena dianggap tidak lebih penting dari peradilan yang lain dan ketika wajah peradilan di Indonesia dianggap penuh mafia, Peradilan Agama pada umumnya dianggap tidak korup dan memberikan pelayanan yang baik bagi para pencari keadilan.

 

Pembahasan awal buku ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perubahan peranan Peradilan Agama yang sama sekali tidak mempengaruhi tumbuhnya islamisasi dalam sistem peradilan di Indonesia.

 

Peradilan Agama dan Masyarakat Marjinal

Bagian selanjutnya dari buku ini mencermati peranan krusial yang dilakukan peradilan agama dalam program-program pembangunan pemerintah dan pengentasan kemiskinan. Bagian ini menguji bagaimana konsistensi dan korelasi reformasi di Peradilan Agama berkaitan erat dengan reformasi hukum dan peradilan di Indonesia secara lebih luas, dan telah menolong para perempuan dan kelompok masyarakat marjinal mendapatkan akses yang lebih luas dan leluasa terhadap pelayanan-pelayanan publik, khususnya program-program pengentasan kemiskinan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: