Penyimpangan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum:Korupsi dan Sistem Peradilan
Kolom

Penyimpangan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum:Korupsi dan Sistem Peradilan

Undang-undang Dasar 1945 ("UUD 1945") menetapkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtsstaat), dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Lebih lanjut Moh. Yamin dalam bukunya yang berjudul "Pengertian tentang Negara Hukum" mendefinisikan negara hukum (rechtsstaat) atau government of laws sebagai berikut:

Bacaan 2 Menit

Sejarah penegakan hukum di Indonesia

Situasi dan kondisi penegakan hukum sekarang ini merupakan akibat langsung dari politik hukum negara kita yang secara sistematis telah membatasi, bahkan mengekang ruang gerak lembaga hukum kita. Pada awal masa kemerdekaan, pemerintah lebih memilih untuk menerapkan Herziene lndonesisch Reglement (HIR) sebagai hukum acara perdata kita daripada Reglement op de Rechtsvordering (Rv), hukum acara yang berlaku untuk orang atau peradilan Eropa, yang sebenarnya lebih menjamin akses kepada advokat (access to legal counsel) dan hak asasi manusia pada umumnya.

Keputusan politik para pemimpin Indonesia yang tidak tepat ini kemudian membawa pengaruh yang sangat besar terhadap upaya pencapaian penegakan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Terlebih lagi, saat ini banyak peraturan-peraturan pelaksana yang diciptakan oleh institusi hukum bertentangan satu sama lain dengan HIR itu sendiri.

Sebagai contoh, lembaga gijzeling (lembaga sandera) yang diatur dalam HIR ternyata sudah dihapuskan oleh Surat Mahkamah Agung Nomor 492/MK/2187/M/65 tanggal 3 Juni 1965 yang kemudian saat ini dihidupkan kembali secara terbatas untuk urusan piutang negara dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK.01/2000 tanggal 18 Agustus 20009. Hal ini jelas menunjukkan ketidakkonsistenan program legislasi di Indonesia.

Secara historis, pelaksanaan penegakan hukum secara inkonsistensi telah terjadi sejak periode sesudah kemerdekaan dengan sistem pemerintahan yang terbuka dan liberal (1949-1959). Pada masa Demokrasi Terpimpin, keadaan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia begitu memprihatinkan. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak lagi bertanggung jawab kepada DPR, sehingga tidak ada akuntabilitas terhadap kebijaksanaannya. Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menindas hak-hak asasi warga negara dengan dalih menyelamatkan revolusi.

Demi kepentingan revolusi juga, pemerintah mencampuri kewenangan badan yudikatif. Pada 1961 Presiden Soekarno pernah memanggil para hakim untuk briefing agar putusan pengadilan berorientasi kepada kepentingan politik dan bukan hukum, sehingga pada waktu itu putusan-putusan pengadilan lebih banyak memihak kepada kepentingan pemerintah dan mengabaikan kepentingan rakyat. Kemudian dikeluarkan Instruksi Presiden No. 11 Tahun 1963 yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk membungkam kritik-kritik terhadap pemerintahannya.

Untuk memperluas kewenangannya dalam badan yudikatif, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk mencampuri kewenangan badan yudikatif. Terlebih lagi kemudian Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro, bersedia ditunjuk menjadi anggota kabinet oleh Presiden Soekarno pada 1964.

Selanjutnya ketika Demokrasi Terpimpin jatuh dan muncul rejim Orde Baru yang banyak didominasi oleh militer, pemerintah Orde Baru berusaha untuk memulihkan kehidupan negara hukum dengan dalih penegakan Pancasila dan UUD 1945. Termasuk, terhadap lembaga peradilan dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan undang-undang hasil kompromi antara Mahkamah Agung dan militer. Pengakuan terhadap kekuasaan yudikatif menjadi semakin tidak ada. Pada masa inilah Soeharto mulai menindas rakyat dengan berbagai cara dan dalih untuk stabilitas nasional.

Halaman Selanjutnya:
Tags: