Irfan Kurnia Saleh, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helicopter AW 101 Tahun 2016-2017 mengajukan praperadilan terhadap KPK di PN Jakarta Selatan. Melalui kuasa hukumnya dari Maqdir Ismail & Partners, Irfan meminta pengadilan menyatakan penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah.
Direktur PT Diratama Jaya Mandiri itu mempersoalkan penyidikan yang dilakukan KPK karena seharusnya kasus ini ditangani secara koneksitas. Sejauh ini yang ditetapkan sebagai tersangka bukan hanya sipil seperti Irfan, tetapi juga dari kalangan militer. POM TNI telah menetapkan Marsda SB, Marsma FA, Kol FTS, Letkol WW, Pelda SS sebagai tersangka. Pemohon praperadilan menilai tindakan penyidikan yang dilakukan KPK tak sesuai peraturan perundang-undangan. Apalagi dalam proses penanganan perkaranya belum ada Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dengan Menteri Hukum dan HAM mengenai penanganan perkara ini secara koneksitas.
Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) KUHAP, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperikda dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ayat (2) pasal yang sama menyebutkan penyidikan perkara koneksitas dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik yang dimaksud Pasal 6 KUHAP dengan POM TNI dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing. Tim dimaksud dibentuk melalui SKB Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum dan HAM.
(Baca juga: KPK-TNI Pastikan Tak Bentuk Tim Koneksitas Tangani Dugaan Suap Proyek Bakamla).
KPK membantah dalil pemohon praperadilan dan menganggap penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan helicopter sudah sesuai perundang-undangan. Menurut KPK perkara ini bukan perkara koneksitas seperti yang didalilkan pemohon karena penanganannya dilakukan terpisah. “Dalam beberapa perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan sipil dan militer dilakukan secara terpisah sebagaimana perkara tindak pidana korupsi yang telah diputus,” kata salah satu tim biro hukum KPK, Juliandi di PN Jaksel, Senin (06/11) kemarin.
Untuk menguatkan argumentasi, KPK menyampaikan putusan pengadilan yang relevan. Berikut 4 putusan pengadilan yang dilampirkan KPK.
No. | Terdakwa/Terpidana | Putusan | Kasus |
1. | Miranda Swaray Gultom | Pengadilan Tipikor No. 39/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 27 September 2012 Pengadilan Tinggi No. 56/Pid/TPK/2012/PT.DKI tanggal 13 Desember 2012 Kasasi No. 545 K/PID.SUS/2013 tanggal 25 April 2013 | Cek Pelawat |
2. | Muhammad Adami Okta | Pengadilan Tipikor No. 39/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst tanggal 17 Mei 2017 | Bakamla |
3. | Fahmi Darmawansyah | Pengadilan Tipikor No. 42/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST tanggal 24 Mei 2017 | Bakamla |
4. | Brigjen (TNI) Teddy Hernayadi | Putusan Pengadilan Militer Tinggi II No. 23-K/PMT-II/AD/VII/2016 tanggal 30 November 2016 Pengadilan Militer Utama No. 30-K/PMU/BDG/AD/VII/2016 tanggal 4 Mei 2017 MA No. 363 K/MIL/2017 tanggal 20 September 2017 |
Juliandi menjelaskan dalam Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, selaku Termohon KPK diberikan kewenangan untuk mengkoordinasi dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.