Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?
Fokus

Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?

Aturan penyadapan seyogyanya tidak dipandang sebagai ancaman bagi siapapun, melainkan sebagai jaminan penegakan hukum yang benar dan perlindungan hak asasi warga negara.

RZK
Bacaan 2 Menit

Di luar dua kondisi pengecualian itu, Pasal 57 mencantumkan ancaman pidana maksimum dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp200 juta bagi penyelenggara telekomunikasi yang melanggar kewajiban sebagaimana diatur Pasal 42 ayat (1).

Aturan yang cukup ketat dan ‘galak’ dalam UU Telekomunikasi bisa jadi muncul karena undang-undang ini lahir sebelum gaung pemberantasan korupsi berhembus kencang di republik ini. Selain itu, sesuai dengan namanya, UU Telekomunikasi mungkin dibentuk dengan maksud menertibkan sektor telekomunikasi termasuk di dalamnya para stakeholders seperti penyelenggara, pengguna, dan pemerintah selaku regulator. Makanya, ketentuan yang diatur di dalamnya lebih bernuansa melindungi ketimbang memberi ruang kepada tindakan penyadapan.

Terlepas dari itu, UU Telekomunikasi sebenarnya bisa menjadi alas di balik wacana pembentukan aturan penyadapan sebagaimana digulirkan Tifatul Sembiring. Meskipun sudah cukup tegas, masih banyak ‘lubang’ UU Telekomunikasi yang bisa diatur lebih dalam di aturan yang lebih khusus mengatur tentang penyadapan. Salah satunya terkait perlindungan bagi pengguna telekomunikasi. Dan, yang paling rentan menjadi ‘korban’ penyadapan adalah pengguna telepon seluler, karena saat ini orang lebih intens menggunakan telepon seluler nirkabel ketimbang telepon rumah.

UU Telekomunikasi mendefinisikan pengguna meliputi pemakai dan pelanggan. Keduanya dibedakan dengan ada atau tidaknya kontrak dalam menggunakan jaringan atau jasa telekomunikasi. Pemakai tanpa kontrak, pelanggan sebaliknya.

UU Telekomunikasi dikatakan belum memberikan perlindungan bagi pengguna telekomunikasi, karena yang diatur baru sebatas kewajiban penyelenggara menjaga kerahasiaan. Pelanggaran atas kewajiban ini pun hanya diganjar sanksi pidana penjara dan denda. UU Telekomunikasi tidak memberikan ruang bagi pengguna untuk menempuh upaya hukum lain jika merasa dirugikan karena teleponnya disadap. Misalnya, dengan melayangkan gugatan perdata terhadap penyelenggara.

Substansi RPP
Pertanyaannya kini, apakah PP Penyadapan yang disiapkan pemerintah telah melingkupi materi perlindungan pengguna telekomunikasi? Jika ditengok, PP yang terdiri dari 23 pasal ini memang memuat prosedur dan tata cara penyadapan -atau di dalam PP disebut intersepsi- yang lebih lengkap dan ketat dibandingkan UU KPK dan UU Telekomunikasi. Misalnya, Pasal 3 yang berisi lima syarat untuk melakukan intersepsi.

Pasal 3  

(1)         Syarat-syarat Intersepsi adalah:

a.     dilakukan untuk tindak pidana tertentu atau tindak pidana yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih;

b.    telah memperoleh bukti permulaan yang cukup;

c.     diajukan secara tertulis atau elektronik oleh pejabat yang ditunjuk oleh Jaksa Agung Republik Indonesiaatau Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ataupimpinan instansi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang;

d.    telah memperoleh penetapan Ketua Pengadilan Negeri;

e.    dilakukan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dapat diperpanjang setiap 12 (dua belas) bulan  sesuai dengan keperluan; dan

f.      sesuai dengan persyaratan lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait