Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?
Fokus

Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?

Aturan penyadapan seyogyanya tidak dipandang sebagai ancaman bagi siapapun, melainkan sebagai jaminan penegakan hukum yang benar dan perlindungan hak asasi warga negara.

RZK
Bacaan 2 Menit

Dengan kaca mata due process of law, langkah Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mewacanakan pembentukan peraturan pemerintah (PP) tentang penyadapan tidak semestinya disambut dengan komentar-komentar pedas. Publik bahkan semestinya mengapresiasi karena terlepas dari substansi draf PP yang dinilai kontroversial, aturan penyadapan merupakan salah satu bentuk jaminan perlindungan agar warga negara tidak menderita karena kesewenang-wenangan pemerintah.

Kebetulan saja, Tifatul bad timing ketika mewacanakan PP penyadapan. Politisi PKS itu ‘sialnya’ berbicara ketika publik tengah giat-giatnya mendukung KPK yang disimbolkan sebagai bentuk perlawanan terhadap penyakit korupsi yang semakin kronis di negeri ini. Dukungan itu secara ‘alamiah’ menguat sebagai respon munculnya gelagat pelemahan KPK melalui pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di DPR serta kasus Cicak versus Buaya. Tifatul sebagai representasi pemerintah pun dituding memiliki agenda tersirat, yakni pelemahan pemberantasan korupsi (baca: KPK).

Tudingan itu memang masih perlu dibuktikan. Tetapi, kalaupun benar seperti yang dituduhkan, Tifatul tentunya sedang beraksi ‘super nekat’. Ia tentu sadar menentang aspirasi publik sama saja bunuh diri politik. Apalagi, Tifatul masih dalam hitungan bulan menduduki kursi menteri. Jadi, selain persoalan bad timing, mencurigai Tifatul berupaya melemahkan KPK sepertinya terlalu prematur. Toh, PP penyadapan belum diberlakukan dan pembahasannya pun masih jauh.  

Wacana aturan penyadapan sebenarnya bukan barang baru, kalau tidak mau disebut usang. Sekitar dua tahun lalu, wacana yang sama juga muncul. Pencetusnya bahkan dari internal KPK sendiri. Amien Sunaryadi, ketika itu menjabat Wakil Ketua KPK, dalam sebuah rapat kerja dengan Komisi III DPR, menyuarakan perlunya dibentuk UU Penyadapan. Amien menyadari penyadapan yang dilakukan KPK memiliki dasar hukum yang lemah. Praktis, KPK hanya bersandar pada dua beleid, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Keduanya tidak mengatur tentang penyadapan secara komprehensif.

UU KPK, Pasal 12 ayat (1) huruf a, hanya menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Di bagian penjelasannya tertulis “cukup jelas”. Sementara, UU Telekomunikasi memuat lebih banyak pasal dan ayat tentang penyadapan atau perekaman pembicaraan. Lahir tiga tahun sebelum UU KPK, UU Telekomunikasi justru mencantumkan ‘peringatan’ bahayanya penyadapan terhadap privasi.

Penjelasan Pasal 40 menyatakan “...pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”. Melalui Pasal 40, UU Telekomunikasi sepertinya ingin menegaskan bahwa penyadapan pada prinsipnya dilarang. Dan kalaupun dilakukan, harus dengan syarat yang ketat.

Makanya, UU Telekomunikasi mengadakan Pasal 42 ayat (2) yang memperkenankan penyadapan dengan syarat atas permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan penyidik. Menariknya, pada ayat (1) ditegaskan terlebih dahulu bahwa penyelenggara telekomunikasi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang dikirim atau diterima oleh pelanggan telekomunikasi. Namun, kewajiban ini ‘digugurkan’ oleh Pasal 43 yang memberikan imunitas bagi penyelenggara telekomunikasi jika pemberian atau perekaman informasi itu dilakukan atas permintaan pengguna telekomunikasi dan demi kepentingan proses peradilan pidana.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait