Sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibahas DPR tak jarang menuai polemik di masyarakat. Seperti penyusunan RUU dengan menggunakan metode omnibus law, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta sejumlah produk legislasi lainnya. Tak berhenti di situ, RUU Daerah Khusus Jakarta yang disepakati dalam rapat paripurna tersebut menjadi RUU usul inisiatif DPR juga disorot tajam kalangan masyarakat sipil.
Sebab ada ketentuan yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi secara langsung. Seperti pasal 10 RUU yang mengatur Gubernur, dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah (DPRD). Ketentuan itu mengubah pemilihan umum kepala daerah di Jakarta yang selama ini menggunakan sistem pemilihan langsung oleh warga Jakarta.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan pemilihan kepala daerah di Jakarta yang ditunjuk langsung Presiden RI sebagaimana diatur Pasal 10 RUU Daerah Khusus Jakarta sangat membahayakan demokrasi. Penunjukan oleh Presiden itu menghilangkan hak partisipasi warga untuk memilih pemimpin mereka yang baik dan bagus. Jika ketentuan itu diterbitkan berbarengan dengan disahkannya RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi UU, maka yang terjadi kemunduran demokrasi.
Penunjukan kepala daerah yang berlaku di Jakarta tentunya merugikan warga Jakarta karena mengalami diskriminasi sebab tidak bisa memilih langsung calon kepala daerah melalui proses pemilu yang jujur dan adil seperti yang berlangsung selama ini. Sementara provinsi lainnya berlaku ketentuan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Baca juga:
- Fraksi PKS Tolak RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta
- YLBHI: Revisi Kedua UU ITE Masih Memuat Pasal-Pasal Bermasalah
Pasal 10 RUU Daerah Khusus Jakarta menunjukan praktik otoritarianisme pemerintahan Preisden Joko Widodo dan seluruh fraksi yang ada di DPR. Padahal Presiden Jokowi sebelumnya pernah dipilih secara langsung oleh warga Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui pemilu. Tapi sekarang Presiden Jokowi justru merusak demokrasi yang pernah membawanya menjadi Gubernur DKI Jakarta.
“Ini gambaran nyata dan utuh serta menyeluruh terjadi regresi demokrasi. Perampasan hak-hak warga negara dan menunjukan watak otoritarianisme Jokowi,” tegas Isnur dikonfirmasi, Kamis (07/12/2023).