Pentingnya Etika Jabatan Negara-Publik dalam Sistem Terpadu
Utama

Pentingnya Etika Jabatan Negara-Publik dalam Sistem Terpadu

Jimly usul perlu dibentuknya satu Mahkamah Kehormatan yang sejajar dengan keberadaan MK dan MA atau meningkatkan peran dan kapasitas KY menjadi institusi puncak sistem penegakan kode etik pejabat negara dan pejabat publik melalui perubahan UUD 1945. Nantinya, tugas dan kewenangannya, serta aspek pendukungnya diatur dalam UU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Bagi Jimly, pengembangan etika kenegaraan itulah memerlukan penataan terpadu yang berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif (kekuasaan kehakiman), dan dalam ranah kekuasaan campuran. “Negara kita perlu melembagakan atau mengintegrasikan fungsi-fungsi etika ini dalam satu kesatuan sistem kelembagaan yang terpadu,” tegasnya.

 

Meski sistem kode etik, penegakan, dan kelembagannya beragam, namun negara tetap memerlukan satu kesatuan fungsi kelembagaan yang terpadu. Menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Periode 2012-2017 itu, sistem penegakan etika kehidupan bernegara sangat memerlukan satu institusi tersendiri yang diberi tugas dan wewenang berdasarkan UU. Bahkan hal ini perlu diatur dalam UUD 1945 agar dapat melakukan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan, termasuk fungsi koreksi untuk keadilan etik.

 

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial, Sunarto menilai dinamika realitas praktik bernegara belakangan disandingkan antara praktik penegakan hukum dan penegakan etika serta moralitas terhadap seluruh warga negara termasuk pejabatnya.

 

Bahkan, penegakan etika dihidupkan secara formal melalui pelembagaan di setiap unsur cabang kekuasaan negara dan berbagai lembaga negara lainnya. Misalnya, keberadaan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) tertuang dalam konsideran huruf c UU No.37 Tahun 2008 tentang ORI. Dalam UU tersebut, kehadiran lembaga ORI tak dapat dipisahkan dengan adanya harapan masyarakat akan terwujudnya penyelenggaraan negara yang efektif, efisien, jujur, bersih, terbuka, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

 

Begitu pula dengan keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (Komjak), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), DPR, dan DPD, serta Mahkamah Kehormatan Hakim (MKH) baik di lembaga MA maupun MK. Artinya, masalah penegakan etika dilakukan oleh masing-masing lembaga.

 

Mantan Kepala Badan Pengawasan (Bawas) MA ini menegaskan pengawasan perilaku hakim atau hakim konstitusi pun sudah dilakukan oleh komite etik yang bersifat ad hoc. Misalnya, pengawasan perilaku hakim dilakukan secara internal dan eksternal oleh Komisi Yudisial (KY). Karenanya, soal perlunya keterpaduan satu lembaga etik, Sunarto menyerahkan sepenuhnya pada lembaga legislatif sebagai pembentuk UU.

 

Sementara Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Universitas Padjajaran (Unpad) Indra Perwira menilai optimalisasi lembaga etik terpadu terkait beberapa hal. Pertama, pencegahan dini terhadap pelanggaran etika. Kedua, pengenalan terhadap potensi pelanggaran etik. Ketiga, respon yang cepat terhadap setiap pengaduan/laporan dugaan pelanggaran etik. Keempat, integritas lembaga etik. Kelima, bekerja berdasarkan bukti dan fakta, hingga memegang kerahasiaan pemeriksaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait