Penjelasan Menteri ATR/BPN Soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja
Berita

Penjelasan Menteri ATR/BPN Soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja

Tujuannya antara lain untuk menyediakan lahan untuk investor, dan kepentingan umum termasuk reforma agraria. KPA menilai konsep Bank Tanah tidak sesuai dengan tujuan reforma agraria untuk membenahi ketimpangan struktur agraria.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Sofyan memberi contoh nanti pelaksanaan Bank Tanah, misalnya lembaga ini memiliki 1.000 hektar tanah. Dari luas tanah itu paling sedikit 30 persen untuk reforma agraria. Bentuk reforma agraria itu disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan. Misalnya daerah perkotaan, maka penggunaannya untuk taman atau perumahan rakyat. Jika lahan itu berada di daerah area perkebunan, maka seluruh lahan itu untuk reforma agraria yang bentuknya perkebunan.

“Bentuk serftifikat yang akan diterbitkan untuk tanah reforma agraria yakni hak komunal, bukan hak milik individu,” kata Sofyan.

Setelah 30 persen tanah yang dikuasai Bank Tanah digunakan untuk reforma agraria, Sofyan mengatakan sisanya akan dipakai untuk berbagai kepentingan sosial, seperti pendidikan, dan lainnya. Bank Tanah bisa juga untuk memfasilitasi kepentingan investasi, misalnya ada kebutuhan untuk membangun lembaga riset, maka akan disediakan tanah dengan insentif selama 20 tahun.

Dia melihat bentuk kelembagaan Bank Tanah, bukan BUMN, tapi seperti badan pengelola. Pengelolaan Bank Tanah orientasinya bukan untuk mencari profit, tapi untuk membiayai operasional dan menjalankan tugas dan fungsinya. “Kami belum bisa memaparkan lebih detail mengenai Bank Tanah. Setidaknya sudah ada beberapa area yang akan digunakan untuk Bank Tanah,” paparnya.

Tidak sesuai mandat

Dalam keterangan tertulisnya, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan pemerintah dan DPR telah melakukan penyesatan publik dengan mengklaim pembentukan Bank Tanah penting untuk pelaksanaan reforma agraria. Mereka (pemerintah) memasukan reforma agraria sebagai, salah satu tujuan dibentuknya Bank Tanah. Menurutnya, reforma agraria yang akan dilakukan melalui Bank Tanah tidak sesuai dengan mandat reforma agraria sejati.

“Menempatkan reforma agraria untuk petani dalam mekanisme pengadaan tanah bagi kelompok bisnis adalah penyimpangan besar-besaran terhadap agenda bangsa reforma agraria. Celakanya, TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA telah dicatut UU (UU Cipta Kerja, red) ini,” tegas Dewi.

Menurut Dewi, UU Cipta Kerja mendorong liberalisasi sumber agraria di Indonesia karena tanah menjadi barang komoditas. Padahal, UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menegaskan tanah memiliki fungsi sosial. Akibatnya, UU Cipta Kerja semakin menjauhkan rakyat dari cita-cita reforma agraria karena semangatnya bukan untuk membenahi ketimpangan struktur agraria.

Karena itu, tidak heran UU Cipta Kerja memasukan pertanahan dan pengadaan lahan karena argumen Menteri ATR/BPN soal keluhan badan usaha (investor) yang kesulitan mendapatkan tanah di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait