Penjelasan Menteri ATR/BPN Soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja
Berita

Penjelasan Menteri ATR/BPN Soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja

Tujuannya antara lain untuk menyediakan lahan untuk investor, dan kepentingan umum termasuk reforma agraria. KPA menilai konsep Bank Tanah tidak sesuai dengan tujuan reforma agraria untuk membenahi ketimpangan struktur agraria.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Menteri ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil. Foto: RES
Menteri ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil. Foto: RES

Penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja yang disahkan pemerintah, DPR, dan DPD pada 5 Oktober 2020 lalu belum berakhir. Selain proses pembentukannya yang dinilai tertutup dan tidak partisipatif, masyarakat sipil juga menyoroti berbagai substansi UU Cipta Kerja antara lain Bank Tanah.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil, mengatakan lembaga yang dipimpinnya dimandatkan untuk membentuk setidaknya 5 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, salah satunya mengenai Bank Tanah. Sofyan menjelaskan tujuan bank Tanah agar negara memiliki tanah yang berasal dari tanah terlantar atau tidak digunakan pemilik konsesi.

Dia menjelaskan ATR/BPN berfungsi sebagai regulator dan manager. Tapi selama ini fungsi manager tidak berjalan karena tidak memiliki tanah yang bisa digunakan untuk kepentingan umum. Karena itu, Bank Tanah sangat dibutuhkan dan tujuannya, antara lain untuk memfasilitasi investasi, kepentingan umum seperti taman, perumahan rakyat, dan reforma agraria.

Menurut Sofyan, selama ini investasi yang masuk ke Indonesia kesulitan mendapat lahan dan sewa yang murah. Melalui Bank Tanah, pemerintah bisa memberi insentif kepada investor berupa lahan dengan sewa yang murah. Selain untuk memfasilitasi investasi, Bank Tanah juga ditujukan untuk kepentingan sosial seperti perumahan rakyat, dan reforma agraria. Bahkan jika tanah yang dimiliki Bank Tanah itu cocok untuk pertanian, maka seluruhnya diprioritaskan untuk reforma agraria.

Sofyan menerangkan beberapa persoalan yang kerap dihadapi pemerintah untuk menyediakan tanah bagi kepentingan umum, seperti perumahan rakyat karena tidak ada lahan yang dimiliki pemerintah. Selain itu, harga tanah relatif mahal. Pengelolaan Bank Tanah tak hanya melibatkan ATR/BPN, tapi ada 2 kementerian lain, salah satunya Kementerian Keuangan. Satu menteri lagi akan ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sesuai dengan kebijakan prioritas pemerintah.

Kemudian akan dibentuk Dewan Pengawas yang fungsinya mengawasi kinerja Bank Tanah. Anggota Dewan Pengawas bank Tanah rencananya terdiri dari 7 orang yang berasal dari pemangku kepentingan yakni wakil pemerintah dan kalangan profesional. Dia menyebut organisasi masyarakat sipil bisa ikut seleksi Dewan Pengawas Bank Tanah. Proses seleksinya nanti akan melewati mekanisme di DPR.

“Eksekusinya (operasional Bank Tanah, red) nanti oleh direksi yang berasal dari Kementerian ATR/BPN atau dari luar,” kata Sofyan dalam diskusi secara daring, Jumat (16/10/2020). (Baca Juga: Siapkan 5 Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, Kementerian ATR/BPN Minta Masukan Masyarakat)

Sofyan memberi contoh nanti pelaksanaan Bank Tanah, misalnya lembaga ini memiliki 1.000 hektar tanah. Dari luas tanah itu paling sedikit 30 persen untuk reforma agraria. Bentuk reforma agraria itu disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan. Misalnya daerah perkotaan, maka penggunaannya untuk taman atau perumahan rakyat. Jika lahan itu berada di daerah area perkebunan, maka seluruh lahan itu untuk reforma agraria yang bentuknya perkebunan.

“Bentuk serftifikat yang akan diterbitkan untuk tanah reforma agraria yakni hak komunal, bukan hak milik individu,” kata Sofyan.

Setelah 30 persen tanah yang dikuasai Bank Tanah digunakan untuk reforma agraria, Sofyan mengatakan sisanya akan dipakai untuk berbagai kepentingan sosial, seperti pendidikan, dan lainnya. Bank Tanah bisa juga untuk memfasilitasi kepentingan investasi, misalnya ada kebutuhan untuk membangun lembaga riset, maka akan disediakan tanah dengan insentif selama 20 tahun.

Dia melihat bentuk kelembagaan Bank Tanah, bukan BUMN, tapi seperti badan pengelola. Pengelolaan Bank Tanah orientasinya bukan untuk mencari profit, tapi untuk membiayai operasional dan menjalankan tugas dan fungsinya. “Kami belum bisa memaparkan lebih detail mengenai Bank Tanah. Setidaknya sudah ada beberapa area yang akan digunakan untuk Bank Tanah,” paparnya.

Tidak sesuai mandat

Dalam keterangan tertulisnya, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan pemerintah dan DPR telah melakukan penyesatan publik dengan mengklaim pembentukan Bank Tanah penting untuk pelaksanaan reforma agraria. Mereka (pemerintah) memasukan reforma agraria sebagai, salah satu tujuan dibentuknya Bank Tanah. Menurutnya, reforma agraria yang akan dilakukan melalui Bank Tanah tidak sesuai dengan mandat reforma agraria sejati.

“Menempatkan reforma agraria untuk petani dalam mekanisme pengadaan tanah bagi kelompok bisnis adalah penyimpangan besar-besaran terhadap agenda bangsa reforma agraria. Celakanya, TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA telah dicatut UU (UU Cipta Kerja, red) ini,” tegas Dewi.

Menurut Dewi, UU Cipta Kerja mendorong liberalisasi sumber agraria di Indonesia karena tanah menjadi barang komoditas. Padahal, UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menegaskan tanah memiliki fungsi sosial. Akibatnya, UU Cipta Kerja semakin menjauhkan rakyat dari cita-cita reforma agraria karena semangatnya bukan untuk membenahi ketimpangan struktur agraria.

Karena itu, tidak heran UU Cipta Kerja memasukan pertanahan dan pengadaan lahan karena argumen Menteri ATR/BPN soal keluhan badan usaha (investor) yang kesulitan mendapatkan tanah di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait