Pengamat Kritik Pencabutan Aturan PMK Pajak E-Commerce
Berita

Pengamat Kritik Pencabutan Aturan PMK Pajak E-Commerce

Padahal, penerapan aturan tersebut tidak berhubungan dengan jenis dan tarif baru, tapi prosedur atau tata cara pelaporan perpajakan bagi pelaku usaha atau penjual pada e-commerce. Justru, pencabutan aturan pajak e-commerce ini menimbulkan diskriminasi.

Mochamad Januar RIzki
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam acara Urgensi Reformasi Pajak: Indeks Ketaatan Pajak VS Tradisi Pungli. Foto: MJR
Para pembicara dalam acara Urgensi Reformasi Pajak: Indeks Ketaatan Pajak VS Tradisi Pungli. Foto: MJR

Isu pajak menjadi perbincangan hangat dalam beberapa hari terakhir menyusul pencabutan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Sebenarnya aturan ini terbit pada akhir tahun lalu, mulai berlaku pada 1 April 2019.

 

Namun, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani mengurungkan penerapan regulasi ini karena mengakibatkan simpang-siur informasi pada masyarakat. Pembatalan aturan pajak tersebut menuai kritik dari kalangan pengamat perpajakan. Pemerintah dinilai tidak tegas menerapkan aturan tersebut. Padahal, penerapan aturan pajak e-commerce tersebut tidak berhubungan dengan jenis dan tarif, tapi prosedur atau tata cara pelaporan perpajakan bagi pelaku usaha atau penjual pada e-commerce.

 

Kritik terhadap pencabutan aturan tersebut disampaikan pengamat pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam. Dia menilai penerapan aturan ini justru berdampak positif terhadap penguatan basis data perpajakan. Sebab, selama ini kegiatan usaha e-commerce ini sudah termasuk kategori shadow economy atau bisnis yang tidak terjangkau pungutan pajak.

 

“Kemarin keluar PMK 210/2018 tetapi dicabut pemerintah. Padahal, melalui PMK tersebut cara berpikir pemerintah sudah bagus karena mampu mengambil data (pelaku usaha e-commerce). Cuma enggak tahu alasannya dibatalkan. Padahal ini salah satu upaya terhadap shadow economy,” ujar Darussalam dalam sebuah diskusi topik perpajakan di Jakarta, Kamis (4/4/2019). Baca Juga: Menteri Keuangan Tarik PMK e-Commerce

 

Darussalam menilai pencabutan aturan pajak e-commerce ini justru menimbulkan diskiriminasi pemungutan pajak terhadap industri konvensional seperti penjualan ritel secara langsung (direct selling). Sebab, pemerintah telah mengatur dengan jelas tata cara perpajakan pada sektor ritel tersebut. “Pengambilan data ini menandakan tidak ada perlakuan pajak berbeda antara  perdagangan digital dengan konvensional,” lanjutnya.

 

Merujuk PMK 210/2018 tersebut, pemerintah memang tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce. Dalam keterangan persnya, Kementerian Keuangan menyatakan pengaturan ini lebih menjelaskan tata cara dan prosedur perpajakan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional.

 

Pokok-pokok pengaturan dalam Nomor 210/PMK.010/2018

1. Bagi pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace:

  1. Memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada pihak penyedia platform marketplace;
  2. Apabila belum memiliki NPWP, pengusaha dapat memilih untuk (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau (2) memberitahukan Nomor Induk Kependudukan kepada penyedia platform marketplace;
  3. Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, serta
  4. Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal omzet melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

2. Kewajiban penyedia platform marketplace:

  1. Memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP;
  2. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa;
  3. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, serta
  4. Melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.

Penyedia platform marketplace adalah pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik dimana pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang dan jasa kepada calon pembeli secara online.

Penyedia platform marketplace yang dikenal di Indonesia antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Selain perusahaan-perusahaan ini, pelaku over the-top di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia platform marketplace.

3. Bagi e-commerce di luar platform marketplace:

Pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebelum Nomor 210/PMK.010/2018 ini mulai berlaku efektif pada 1 April 2019, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan sosialisasi kepada para pelaku e-commerce, termasuk penyedia platform marketplace dan para pedagang yang menggunakan platform tersebut.

 

Kritik terhadap pencabutan PMK ini juga disampaikan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tax Center, Ajib Hamdani. Menurut dia pencabutan PMK tersebut menandakan pemerintah telah gagal memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai isi peraturan ini.

 

“Pencabutan PMK 210 Tahun 2018 ini membuktikan kegagalan pemerintah menyampaikan pesan utuh kepada masyarakat. PMK ini tidak mengatur jenis, objek dan tarif pajak baru hanya mengatur mekanisme. Kok hanya mengatur mekanisme direvisi, Ini preseden buruk,” kata Ajib.

 

Dia menilai pelaku usaha e-commerce seharusnya merasa terbantu dengan adanya PMK ini karena terdapat aturan mekanisme perpajakan yang selama ini tanpa payung hukum. Ajib juga sepakat pencabutan aturan ini justru menimbulkan ketidakadilan (diskriminasi) antara pelaku usaha e-commerce dengan konvensional. Sebab, tanpa PMK 210/2018 ini berpotensi terjadinya penghindaran pembayaran pajak.

 

“Pencabutan (aturan) ini menimbulkan rasa ketidakadilan. Kenapa? Konvensional bayar sementara e-commerce tidak bayar. Pencabutan aturan ini menyebabkan ekstensifikasi (perluasan) data perpajakan tidak bisa berjalan,” ujarnya.

 

Sebelumnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan sejak aturan tersebut terbit muncul spekulasi di masyarakat, sehingga menimbulkan kekhawatiran. Menurutnya, keputusan pencabutan PMK ini diambil untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi yang lebih komprehensif antar Kementerian/Lembaga (K/L). Koordinasi ini untuk memastikan agar pengaturan e-commerce tepat sasaran, berkeadilan, efisien serta mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital dengan mendengarkan masukan seluruh pemangku kepentingan.

 

“Penarikan ini sekaligus memberi waktu bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi yang lebih intensif dengan seluruh pemangku kepentingan, serta mempersiapkan infrastruktur pelaporan data e-commerce,” ujar Sri, Jum’at (29/3/2019) lalu.

 

Dengan ditariknya PMK tersebut, Sri Mulyani mengingatkan, perlakuan perpajakan untuk seluruh pelaku ekonomi tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pelaku usaha baik e-commerce maupun konvensional yang menerima penghasilan (omzet) melebihi Rp4,8 miliar per tahun dapat memanfaatkan skema pajak final dengan tarif 0,5 persen dari jumlah omzet usaha.

Tags:

Berita Terkait