Pengakuan NUG oleh ASEAN Pintu Masuk Akhiri Konflik di Myanmar
Utama

Pengakuan NUG oleh ASEAN Pintu Masuk Akhiri Konflik di Myanmar

Sebagai upaya membuka ruang dialog antara pihak junta militer dan Pemerintah Persatuan Myanmar (National Unity Government/NUG) menuju kesepakatan damai.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kekerasan makin meningkat

Koordinator The Alternative ASEAN Network on Burma Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH), Debbie Stothard, mencatat setelah junta militer menghadiri KTT ASEAN di Jakarta April 2021 lalu kekerasan yang dilakukan militer terhadap masyarakat pro demokrasi makin meningkat. Padahal, salah satu dari 5 poin konsensus ASEAN yakni kekerasan harus segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri. Bahkan, ada serangan udara yang dilakukan militer terhadap masyarakat sipil.

“Ada 68 serangan udara sepekan setelah pertemuan KTT ASEAN di Jakarta,” ujarnya.

Pandemi Covid-19 menambah penderitaan yang dialami rakyat Myanmar. Debbie mengatakan Kepala Lembaga Tanggap Covid-19 Myanmar ditangkap pihak militer karena dituduh memberontak. Masyarakat yang melakukan pembangkangan sipil dituding sebagai teroris dan perusuh. Hampir seluruh petugas kesehatan pemerintah Myanmar bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil, sehingga banyak RS pemerintah yang tutup karena kekurangan petugas.

Untuk meredakan krisis Myanmar, Debbie meminta ASEAN perlu melibatkan Dewan Keamanan PBB untuk melakukan beberapa tindakan, seperti embargo senjata. Komunitas internasional juga perlu secara tegas mendukung posisi NUG karena anggotanya terdiri dari beragam latar belakang dan menggandeng berbagai kelompok etnis di Myanmar.

Hukumonline.com

Debbie Stothard, Khin Ohmar, Wongpun Amarinthewa. 

Tantangan Asia Tenggara

Editorial Staff of The101.world, Wongpun Amarinthewa, melihat persoalan yang dihadapi Myanmar merupakan tantangan yang dihadapi kawasan Asia Tenggara yakni kuatnya otoritarianisme dan kemunduran demokrasi. Mengutip indeks demokrasi Asia Tenggara periode 2016-2020 menunjukan hampir seluruh negara di Asia Tenggara mengalami kemunduran demokrasi, kecuali Malaysia dan Thailand karena menghadapi pemilu. Pada periode yang sama indeks kebebasan juga turun.

Indikasi lain yang memperkuat bangkitnya otoritarianisme di Asia Tenggara, menurut Wong dapat dilihat dari beberapa peristiwa misalnya kudeta militer di Thailand (2014); terpilihnya Presiden Duterte (2016) di Filipina yang didukung sayap kanan; konsolidasi kekuasaan Hun Sen di Kambodja (2018); dan kudeta militer di Myanmar (2021). Bangkitnya otoritarianisme itu menggugah kalangan pemuda di ASEAN untuk merespon kemunduran demokrasi.

Misalnya rakyat Myanmar melakukan pembangkangan sipil karena tidak melihat masa depan yang cerah di bawah rezim junta militer saat ini. Tuntutan yang sama juga disuarakan masyarakat Thailand kepada pemerintahnya, dan berbagai protes serta demonstrasi dilakukan kalangan pemuda di Filipina dan Indonesia. Dia melihat kemenangan junta militer terhadap rakyat Myanmar akan berdampak buruk terhadap kawasan Asia Tenggara.

Wong khawatir cara itu akan ditiru pemimpin negara Asia Tenggara lain untuk diterapkan di negaranya dan semakin memperkokoh otoritarianisme. Sebaliknya, jika rakyat Myanmar berhasil menumbangkan junta militer, gerakan demokrasi akan lebih kuat di kawasan Asia Tenggara. “Ini alasan kenapa pemuda di Asia Tenggara harus saling bekerja sama dan mendukung gerakan masyarakat sipil di Myanmar. Semua cara harus dilakukan untuk mendukung rakyat Myanmar, misalnya menggunakan media sosial dan mengabarkan apa yang terjadi di Myanmar,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait