Pengacara Selebritis dan Tanggung Jawab Profesi
Amrie Hakim*)

Pengacara Selebritis dan Tanggung Jawab Profesi

Ibu rumah tangga dan anak-anak sekarang sangat akrab dengan nama sejumlah pengacara ibukota macam Elza Syarief, Farhat Abbas, Hotman Paris Hutapea, atau Ruhut Sitompul. Fenomena itu tidak mengagetkan karena wajah mereka kerap berseliweran nyaris tiap hari di layar kaca, dari pagi hingga petang.

Bacaan 2 Menit

 

Budaya hukum populer dan opini publik

Hukum saat ini telah memasuki era imaji, begitu kata Richard K. Sherwin dalam eseinya bertajuk "Celebrity Lawyers and the Cult of Personality" (2003). Menurutnya, para pengacara yang dipandang paling terkenal adalah para ikon showbiz, pesohor di dalam budaya selebritas. Sherwin termasuk salah seorang akademisi yang mencermati fenomena pengacara selebritis di AS yang mencapai puncaknya saat meledaknya persidangan perkara O.J. Simpson pada 1995 lampau.

 

Sherwin, profesor hukum pada New York Law School, berpendapat, pengacara sebagai selebritis secara sadar telah menjadi bagian dari "mutually assured seduction that goes on between TV journalists and producers and the lawyer pundits, anchors, and screen personalities who help entertainment king". Sederhanya, Sherwin menilai para pengacara selebritis telah jatuh pada godaan popularitas yang dijanjikan dunia hiburan (televisi).

 

Dalam esei yang sama, Sherwin mengatakan bahwa para pengacara jenis ini telah "menjebakkan" diri mereka dalam skenario yang disusun oleh produser (program) televisi. Televisi, di pihak lain, sebagai media budaya populer dianggap sebagai guru paling digdaya dan persuasif yang pernah ada. Demikian tulis Michael Asimow dalam eseinya "Bad Lawyer in the Movies" (Nova Law Review, 2000).

 

Asimow, profesor hukum di UCLA School of Law, sangat percaya bahwa penggambaran (personalitas) pengacara yang kerap tampil di televisi (dan film) mampu membentuk (dan mengubah) persepsi publik mengenai profesi pengacara secara umum, melebihi pengalaman pribadi masing-masing individu dalam masyarakat itu sendiri. Selama ini publik senantiasa mengasosiasikan pengacara dengan babak terburuk kehidupan mereka, seperti perceraian, pembagian harta waris orangtua, sengketa dengan kantor pajak, persoalan terkait pinjaman di bank, atau masalah kepailitan. Dan bagi mereka yang belum pernah mengalaminya, mendapat pengalaman  itu di televisi.

 

Seorang teman di kantor saya misalnya, pernah berkomentar bahwa kehadiran pengacara tertentu dalam sebuah kasus peceraian sudah menjadi jaminan bahwa perceraian itu pasti akan terjadi. Persepsi itu ternyata dia peroleh setelah memperhatikan sejumlah kasus yang ditangani si pengacara wanita itu selalu sukses membawa pasangan selebritis ke pintu perceraian. Atau, seorang ibu rumah tangga sangat gregetan melihat tingkah seorang pengacara ditampilkan sebagai sosok yang terlalu mudah mengumbar komentar soal urusan "ranjang" pasangan selebritis kepada infotainment. Padahal, komentar-komentar semacam itulah yang dapat mendongkrak rating tayangan infotainment.

 

Asimow mendiagnosa ada tujuh faktor  yang dapat mempengaruhi persepsi publik mengenai pengacara. Pertama, faktor yang terkait dengan profesi kepengacaraan itu sendiri,  misalnya besarnya penghasilan pengacara atau meningkatnya jumlah pengacara dan kasus litigasi. Kedua, persidangan yang mendapat publisitas besar-besaran. Ketiga, faktor yang berkaitan dengan perubahan di  masyarakat,  misalnya semakin tingginya angka perceraian. Keempat, faktor terkait proses litigasi. Kelima, iklan pengacara (faktor ini mungkin dapat diabaikan dalam kasus Indonesia). Keenam, faktor hubungan masyarakat yang buruk. Ketujuh, stereotipe seorang pengacara sebagai manusia (umumnya berdasarkan pengalaman pribadi, keluarga atau teman).

 

Terkait faktor yang terakhir, sebagian masyarakat mungkin masih ingat tentang kasus rumah tangga yang menimpa salah seorang pengacara muda yang kebetulan beristrikan seorang artis. Penikahan secara sirri pengacara tersebut dengan wanita lain yang dilakukan tanpa sepengetahuan istri pertamanya kemudian tercium infotainment. Kasus itu kemudian diekspos habis-habisan selama beberapa pekan dan menjadi laporan utama sejumlah media elektronik juga cetak. Drama realitas (reality drama) pun tersaji dengan sang pengacara muda sebagai pemeran utamanya, dan kedua istrinya sebagai pemeran pendamping. Publik pun diarahkan untuk menilai siapa yang menjadi tokoh protagonis dan antagonis dalam drama realitas itu.

Tags: