Penetapan Pesangon Pekerja Migas Suatu Fenomena Micro Management Pemerintah
Kolom

Penetapan Pesangon Pekerja Migas Suatu Fenomena Micro Management Pemerintah

Pendekatan demikian dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan hasil berupa menurunnya nilai investasi di bidang eskplorasi dan kegiatan eksploitasi yang cenderung stagnan. Jika pendekatan tidak diubah, maka keinginan untuk keluar dari krisis migas hanya tinggal angan.

Bacaan 2 Menit
Terlebih dahulu perlu dipahami bahwa pesangon adalah kewajiban pemberi kerja yang harus dibayarkan kepada pekerja pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja (pay as you go principle). Pesangon merupakan salah satu komponen yang menjadi kewajiban perusahaan kepada karyawan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, karena masih ada komponen uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat 3 & 4 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebutan yang lebih tepat dan mudah, untuk menyebut komponen pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak adalah kompensasi pemutusan hubungan kerja. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja maka perhitungan normative yang digunakan adalah kompensasi PHK (pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak).
Ketentuan Pasal 18 ini Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010, khususnya ayat 1, memberikan peluang terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk mencicil pembayaran pesangon dan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga, yakni Dana Pensiuan Lembaga Keuangan. Pada saat pekerja nantinya mengalami pemutusan hubungan kerja, maka dana pesangonnya sudah teralokasi. Karena hal ini menyangkut kepentingan karyawan dan perusahaan, maka diperlukan peran negara untuk memberikan perlindungan hukum. 
Terkait perlindungan hukum ini, Pasal 18 mengamanatkan Menteri Keuangan untuk membuat dua pengaturan. Pengaturan pertama adalah mengenai tata cara pengelolaan iuran pesangon, dan pengaturan kedua adalah mengenai besarnya pesangon.
Terkait pengaturan yang pertama, di dalam praktek sekarang ini dikenal adanya Program Pensiun untuk Kompensasi Pesangon (PPUKP). Ia merupakan program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan perusahaan akan program pensiun yang dikhususkan untuk pembayaran kompensasi pesangon. Pengelola atau penyelenggara PPUKP adalah Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPKL). Manfaat dari PPUKP sendiri dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 
a. Bagi Perusahaan
Mengurangi masalah arus kas (cash flow) perusahaan di kemudian hari.
Mengurangi pajak penghasilan badan (PPh 25).
Mempertahankan karyawan berkualitas.
Memberi nilai tambah perusahaan karena di investasikan dan sesuai regulasi.
Menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan
b. Karyawan
Memiliki jaminan kesinambungan penghasilan di hari tua.
Memiliki dana yang sudah pasti dari perusahaan.
Manfaat pajak hasil investasi sampai dengan manfaat program dibayarkan.
Terpisah dari kekayaan perusahaan
PPUKP ini berbeda dengan program pension, baik itu Program Pensiun Iuran Pasti maupun Program Pensiun Manfaat Pasti  yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) maupun DPLK. PPUKP tidak termasuk yang diatur oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Apabila mendasarkan pada Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan DPLK, Program Pensiun Untuk Kompensasi Pesangon yang dibuat oleh Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan Indonesia pada tahun 2013, pada bagian daftar pustaka tidak terdapat Peraturan Menteri Keuangan pasca Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010, yang digunakan sebagai dasar hukum atau rujukannya. Artinya Menteri Keuangan belum menjalankan amanat Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010.  Oleh karena itu demi kepastian hukum dan perlindungan pesertanya, harus dibuatkan aturan seperti Program Pensiun Iuran Pasti dan Manfaat Pasti.
Oleh karena penyelenggara PPUKP adalah DPLK, maka peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi penting untuk mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainya sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Demikian juga berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat 1 UU Dana Pensiun, bagaimana bentuk pembinaan dan pengawasan terhadap Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang menjadi tanggung jawab Menteri Keuangan.   
Selain ketiadaan peraturan perundang-undangan mengenai PPUKP, perlu juga dicermati keterkaitan dengan ketentuan Pasal 40 ayat 1, Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun, yang menyatakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan hanya dapat menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti. Berdasarkan ketentuan Pasal ini, DPLK yang melakukan penyelenggaraan dan pengelolaan PPUKP dapat dianggap telah melanggar undang-undang, karena DPLK hanya dapat menyelenggarakan dan mengelola program pension iuran pasti. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 dan Pasal 60 UU Dana Pensiun pelanggaran terhadap Pasal 40 merupakan kejahatan dengan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Apabila DPLK dalam penyelenggaraan dan pengelolaan PPUKP mendasarkan pada persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, selaku yang bertanggung jawab mengatur dan mengawasi Dana Pensiun, apakah persetujuan tersebut dapat menganulir ketentuan Pasal 40 ayat 1 UU Dana Pensiun?. Supaya PPUKP dapat tumbuh dan memberikan manfaat maka berbagai pertanyaan yang muncul harus segera disikapi dengan membuatkan aturan hokumnya.   
Tags: