Penerapan 'Pendekatan Kehati-hatian' dalam Penanganan Produk Transgenik
Dwi Andreas Santosa(*)

Penerapan 'Pendekatan Kehati-hatian' dalam Penanganan Produk Transgenik

Luas penanaman tanaman transgenik di seluruh dunia selama 9 tahun berturut-turut meningkat dengan tingkat pertumbuhan double digit. Pada 2003 meningkat sebesar 15 persen dan pada 2004 laju peningkatannya mencapai 20 persen (ISAAA Report 2004).

Bacaan 2 Menit
Penerapan 'Pendekatan Kehati-hatian' dalam Penanganan Produk Transgenik
Hukumonline

Analisis risiko merupakan tahap pertama yang harus dilakukan untuk meminimumkan atau mencegah kemungkinan munculnya pengaruh merugikan dari organisme transgenik terhadap lingkungan dan kesehatan. Analisis risiko harus dikerjakan dengan scientifically sound manner--suatu kajian yang terstruktur, kredibel, transparan, dan inklusif—yang dilakukan oleh peneliti yang memiliki kualifikasi tertentu dan memiliki pengalaman di bidang yang relevan. Analisis risiko harus menggunakan juga pertimbangan ilmiah dari berbagai disiplin keilmuan serta scientific schools of thought serta keragaman opini.

Analisis risiko bukan suatu hal yang bisa diselesaikan dalam hitungan bulan, apalagi di wilayah dengan referensi ilmiah sangat minim bahkan nol, terutama di negara tropis dengan keanekaragaman sangat tinggi. Dalam kaitan dengan pelepasan kapas transgenik penulis pernah mengusulkan suatu analisis risiko lingkungan yang komprehensif, terbuka dengan melibatkan berbagai disiplin keilmuan selama paling sedikit tiga tahun untuk mendapatkan data minimum yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan kebijakan penanaman skala komersial kapas transgenik (Republika 6/3/2001 halaman 14; Suara Pembaruan 6/3/2001 halaman 4; Santosa, artikel Kompas 25/2/2001 halaman 22).

Analisis risiko mutlak mempertimbangkan keunikan organisme transgenik yang akan dikaji. Tidak ada patokan baku yang berlaku untuk seluruh organisme transgenik. Generalisasi dengan membuat peraturan yang berlaku umum akan menyebabkan peraturan tersebut menjadi tidak bermakna. Khusus tentang tanaman transgenik, setiap tanaman transgenik adalah unik sehingga analisis risiko tanaman transgenik tahan hama berbeda dengan tahan herbisida dan berbeda juga dengan tanaman transgenik penghasil vitamin A. Hingga tahun 2004 sudah lebih dari 40 varietas tanaman transgenik yang dipasarkan.

Penerapan pendekatan kehati-hatian terhadap produk tanaman transgenik yang akan dikonsumsi manusia mensyaratkan analisis risiko yang tidak kalah kompleksnya. Negara wajib melakukan sendiri analisis keamanan pangan untuk berbagai bahan pangan transgenik yang masuk ke Indonesia, tidak sekedar menerima dan menilai dokumen yang disajikan oleh pemohon. Analisis keamanan pangan transgenik meliputi dua hal utama, yaitu konsekuensi langsung dan konsekuensi tidak langsung.

Konsekuensi langsung meliputi kajian apakah terjadi perubahan nutrisi serta munculnya efek alergi atau toksisitas akibat proses rekayasa genetika. Konsekuensi tidak langsung meliputi efek baru yang muncul akibat transfer gen, perubahan ekspresi gen pada inang, pengaruhnya terhadap metabolisme tanaman, gene silencing, interupsi sekuens penyandi atau berubahnya sistem regulasi gen-gen.

Pola konsumsi juga memainkan peran penting. Di AS dan negara maju lainnya, kedelai atau jagung sebagian besar digunakan untuk pakan ternak. Kedelai dan jagung yang dikonsumsi manusia telah melalui proses pengolahan yang panjang sehingga DNA dan protein transgenik rusak, selain itu juga dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Sebaliknya, di Indonesia beberapa produk tersebut dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan utama (misalnya jagung di berbagai wilayah Indonesia) atau hanya melalui proses pengolahan pendek misalnya tempe atau tahu (Santosa, Kompas 11/2/2002).

Risiko jangka panjang konsumsi pangan transgenik merupakan parameter yang sangat sulit dianalisis. Tidak ada seorang ilmuwanpun yang sanggup menyatakan bahwa pangan transgenik 100 persen aman dikonsumsi dalam jangka panjang, meskipun hal yang sama juga berlaku untuk pangan tradisional. Terkait dengan hal tersebut maka hak konsumen untuk tahu dan memilih (right to know and right to choose) mutlak harus dijamin melalui labelisasi pangan transgenik (PP No.69/1999).

Manajemen risiko merupakan tahapan penting lain yang tertuang juga dalam Protokol Kartagena. Setiap negara yang meratifikasinya perlu mengembangkan peraturan, mekanisme, tindakan, dan strategi untuk mengelola dan mengendalikan risiko yang teridentifikasi. Tindakan manajemen risiko perlu dilakukan untuk mencegah pengaruh negatif organisme transgenik terhadap konservasi dan keberlanjutan penggunaan keanekaragaman hayati serta kesehatan manusia. Selain itu perlu dikembangkan juga tindakan untuk mencegah pergerakan lintas batas organisme transgenik.

Berbeda dengan teknologi terkini lainnya, nuansa biopolitik terasa kental dalam wacana tentang tanaman transgenik (Seri tulisan Santosa, Kompas 23/8/2002 hal 37, 23/6/2003 hal 23, 13/8/2003 hal 23, dan 4/8/2004 hal 31). Baik pihak yang pro maupun kontra, semuanya membangun komunitas dan argumentasinya masing-masing untuk mempengaruhi kebijakan publik baik pada tingkat lokal, nasional dan internasional. Kondisi seperti ini sama sekali tidak menguntungkan baik bagi perkembangan ilmu dan teknologi transgenik maupun kajian terhadap kemungkinan risiko negatif dari keberadaan tanaman transgenik.

Komersialisasi tanaman transgenik tidak bisa terlepas dari kekuatan market pull baik secara alamiah maupun sengaja diciptakan dan science push yaitu dorongan yang sangat kuat dari peneliti dan produsen tanaman transgenik untuk memanfaatkan hasil-hasil riset yang mereka lakukan. Dalam upaya meraih pasar, produsen transgenik sangat jeli memanfaatkan komunitas ilmiah baik para pakar, asosiasi profesi, perguruan tinggi dan lembaga penelitian sebagai garda terdepan advokasi dan komersialisasi produk transgenik MNC (multinational corporation). MNC sangat menyadari hal ini karena dalam berbagai kajian biopolitik ilmuwan menempati urutan tertinggi sebagai pihak yang paling dipercaya publik, sedangkan perusahaan menempati urutan terendah.

Proses pembentukan opini di kalangan ilmuwan oleh MNC boleh dikatakan berhasil dengan keluarnya berbagai pernyataan dukungan terhadap tanaman transgenik oleh ilmuwan, himpunan profesi bahkan lembaga keagamaan pada periode uji maupun komersialisasi kapas transgenik antara 1999 hingga 2002.

Disisi lain elemen-elemen kunci dalam biopolitik yang meliputi beberapa kekuatan politik yang terorganisasi, kelompok penekan dan media massa telah berhasil pula membentuk opini negatif tentang transgenik di kalangan sebagian masyarakat. Pembentukan opini negatif penting sebagai penyeimbang dalam kerangka pendekatan kehati-hatian. Tetapi, dominasi opini negatif akan menutup kemungkinan peran teknologi tersebut sebagai salah satu cara untuk mengatasi sebagian persoalan di bidang pertanian dan pemenuhan kebutuhan akan pangan.

Terakhir, satu hal yang seharusnya menjadi kepedulian bersama adalah penguasaan  lebih dari 99 persen teknologi maupun pasar tanaman transgenik oleh hanya tujuh MNC, dengan Monsanto sebagai MNC terbesar yang menguasai 90 persen benih tanaman transgenik. Bila analisis penulis benar (Santosa, Kompas 23/8/2002), maka tidak lama lagi (tahun 2007) tanaman transgenik akan menguasai 62 persen dari seluruh luasan empat tanaman penting (kedelai, jagung, kanola dan kapas). Dengan penyebaran tanaman transgenik yang sudah lebih 50 persen untuk keempat tanaman tersebut, maka tindakan kehati-hatian menjadi sedemikian penting.

Dari sisi sosio-ekonomi, hal tersebut juga berarti pengalihan penguasaan benih dari ratusan juta petani dan lembaga publik ke hanya tujuh MNC. Semoga saja ke depan kebijakan-kebijakan lokal, nasional maupun internasional terkait dengan organisme transgenik lebih mengedepankan kepentingan publik, kemandirian petani dan negara berkembang.

 

Disampaikan pada Diskusi Media "Kasus Suap Transgenik dan Penyelesaiannya". 21 Februari 2005

Total areal yang ditanami tanaman transgenik tahun 2004 mencapai 81 juta hektar yang melibatkan 8,25 juta petani di 17 negara. Luasan penanaman terbesar di AS (47.6 juta ha) kemudian disusul berturut-turut oleh Argentina (16.2 juta ha), Kanada (5.4 juta ha), Brazil (5,0 juta ha), Cina (3,7 juta ha), Paraguay (1,2 juta ha) dan lainnya di bawah 1 juta hektar yaitu: India, Afrika Selatan, Uruguay, Australia, Romania, Meksiko, Spanyol dan Filipina. Indonesia telah menanam tanaman kapas transgenik pada tahun 2001 dan 2002 pada luasan kurang dari 10.000 ha dan kemudian dihentikan.

Telah lama dipahami oleh komunitas internasional bahwa mencegah kerusakan lingkungan harus menjadi The Golden Rule for the Environment baik karena alasan-alasan ekologi maupun ekonomi. Remediasi lingkungan yang telah rusak terbukti sulit dilakukan dan pada banyak kasus kerusakan yang terjadi bersifat tak dapat balik (irreversible).

Pada tataran internasional telah disepakati pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) yang tertuang dalam Principle 15 of the Rio Declaration (adanya ancaman yang serius terhadap lingkungan atau kemungkinan munculnya kerusakan lingkungan yang tidak dapat balik, maka kurangnya bukti atau kepastian ilmiah tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menunda tindakan-tindakan mempan-biaya (cost-effective) untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan).

Proponen precautinonary provisions menekankan secara lebih spesifik terhadap organisme transgenik yang relatif baru dan cukup sedikit pengalaman alam dan manusia terhadap organisme tersebut. Dengan kajian risiko yang benarpun, ketidakpastian masih tetap ada. Sehingga, menjadi hak setiap negara untuk mengadopsi tindakan kehati-hatian untuk melindungi keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia. Semua tatanan internasional dalam penanganan organisme transgenik tertuang dalam Cartagena Protocol on Biosafety yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada 2004.

Tags: