Hukum yang hidup dalam masyarakat atau dikenal dengan istilah living law sudah ada di Indonesia jauh sebelum kolonial Belanda mengundangkan KUHP. Tapi seiring perkembangan dinamika bangsa, living law sudah diakui konstitusi dan sejumlah perundangan pasca kemerdekaan.
Dosen Hukum Pidana Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Fery Fathurokhman mengatakan UUD 1945 mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat. Begitu juga UU No.48 Tahun 2009 tentang Kehakiman dan UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil mengatur hukum yang hidup di masyarakat termasuk hukum adat. Ketentuan teranyar tentang hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) diatur Pasal 2 UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pengadilan selama ini praktiknya mengadopsi hukum yang hidup dalam masyarakat. Ferry mencatat tahun 1978 dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur dengan majelis sidang salah satunya (Alm) Bismar Siregar menangani perkara pidana yang intinya memutus terdakwa memenuhi unsur pidana, tapi tidak dijatuhi sanksi pidana. Pertimbangannya, para pihak dalam perkara itu sudah saling memaafkan sehingga hakim Bismar berpendapat perkara sudah selesai.
“Jadi Bismar menilai tidak bisa dihukum berdasarkan masyarakat (hukum yang hidup dalam masyarakat,-red),” katanya dalam seminar bertema ‘Menyongsong Berlakunya Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP’, Senin (24/7/2023) kemarin.
Baca juga:
- Sejumlah Pekerjaan Rumah dalam Penerapan Ketentuan Living Law
- 5 Tantangan dalam Pelaksanaan Living Law
Ferry mencatat rumusan living law dalam Rancangan KUHP (RKUHP) terus berubah dari awalnya digabung dalam Pasal 1 sebagaimana draf tahun 2006, sekarang dipisah. Kemudian Pasal 2 ayat (3) UU 1/2023 mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam bagian penjelasan living law itu dimaknai sebagai hukum adat.
Living law yang berlaku sebagaimana diatur UU 1/2023 harus terlebih dulu memenuhi kriteria. Ferry menyebut living law itu harus sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam praktiknya, sebagian living law yang berlaku di Indonesia lebih dekat dengan penyelesaian menggunakan mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif.