Penerapan Liberalisasi Dalam RUU PM Tidak Tepat
Berita

Penerapan Liberalisasi Dalam RUU PM Tidak Tepat

Untuk meningkatkan investasi, Pemerintah dan DPR menyusun RUU PM dengan semangat liberalisasi. Namun akademisi menilai liberalisasi RUU PM belum tentu dapat menarik investasi....

Tif
Bacaan 2 Menit
Penerapan Liberalisasi Dalam RUU PM Tidak Tepat
Hukumonline

 

Senada dengan koleganya, dosen senior Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Mudrajad Kuncoro menyatakan bahwa hambatan yang dirasa pelaku bisnis adalah pungli, perijinan dari Pemerintah pusat, peraturan daerah dan kenaikan tarif (BBM dan listrik).

 

Ia menambahkan bahwa peraturan dalam bentuk Perda merupakan peraturan yang paling banyak dikeluarkan karena mencapai 90,1 persen dari seluruh peraturan di daerah. Dari seluruh Perda yang telah terbit, Perda yang tidak bermasalah hanya 27 persen. Alasan pembatalan Perda oleh pemerintah pusat karena bertentangan dengan kepentingan publik, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, menghalangi aliran barang dan jasa dan duplikasi pajak/retribusi.

 

Untuk meningkatkan investasi, Pemerintah perlu perbaiki iklim investasi dengan menumpas korupsi, menyederhanakan prosedur investasi dengan pelayanan satu atap, menertibkan perda dan mempromosikan KEKI seperti Batam, papar Mudrajad.

 

Mudrajad mengusulkan agar pelayanan mudah diberikan bagi semua usaha penanaman modal. Pemberian fiskal juga hanya diberikan pada kegiatan investasi yang menghasilkan eksternalitas positif karena berpengaruh pada penerimaan negara.

 

Pasal 12 ayat (1) perlu ditambah : bisnis di luar Jawa, terutama kawasan tertinggal, kawasan timur Indonesia dan daerah perbatasan; bisnis yang berorientasi ekspor dan bisnis yang bermitra dengan usaha kecil, kata Mudrajad.

 

Menurut Mudrajad, perlu ada kriteria wewenang yang diberi ke daerah dalam kerangka otonomi daerah dan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan aktivitas ekonomi lintas wilayah dan nilai investasi tertentu. Ia mencontohkan di Cina investasi yang bernilai lebih dari AS$30juta merupakan kewenangan pusat dan yang di bawah angka itu merupakan kewenangan daerah.

 

Insentif Untuk Tarik Investor

Sementara itu, dalam rapat paripurna Selasa (5/9), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan berbagai insentif yang ditawarkan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan investasi, antara lain insentif perpajakan seperti fasilitas pajak penghasilan (PPh).

 

Sesuai Pasal 31A UU No17/2000 tentang Pajak Penghasilan, wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan atau daerah tertentu dapat diberikan fasilitas seperti penyusutan dan amortisasi yang dipercepat (accelerated depreciation), kompensasi kerugian yang lebih lama dari kompensasi kerugian pada umumnya, tetapi tidak lebih dari 10 tahun dan pengenaan pajak penghasilan atas dividen (Pasal 26) sebesar 10 persen kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan (tax treaty) yang berlaku menetapkan lebih rendah.

 

Fasilitas lain adalah penghapusan tarif PPnBM untuk jenis barang tertentu. Sejak awal 2003, Pemerintah telah mencabut dan menurunkan tarif PPnBM untuk produk tertentu. Hal ini untuk mendorong pertumbuhan kegiatan usaha dan meringankan beban masyarakat.

 

Pemerintah memberikan beberapa insentif di bidang bea masuk. Sesuai Pasal 24 UU No 10/1995 tentang Bea Masuk, barang yang dimasukkan ke daerah pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar daerah pabean tidak dipungut bea masuk. Pasal 25 menyatakan bahwa pembebasan bea masuk diberikan atas impor, antara lain pada barang modal, barang dan bahan impor untuk tujuan diekspor. Pembebasan bea masuk tersebut biasanya diikuti pembebasan pajak dalam rangka impor seperti PPN impor, PPnBM impor dan PPh Pasal 22 impor.

 

Selain itu, Pemerintah juga memberikan perluasan jalur prioritas yaitu memberikan kemudahan dalam memperlancar proses pengeluaran barang dari kawasan pabean ke peredaran bebas terhadap importir/perusahaan yang memiliki kategori sangat patuh terhadap peratura dan pemenuhan kewajiban kepabeanan dan perpajakan.

 

Di sektor pertambangan, Pemerintah memberlakukan Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi seperti diatur dalam PMK No.21/PMK.010/2005 yang menyatakan bahwa atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu migas diberikan pembebasan bea masuk, sehingga tarif akhir bea masuknya menjadi 0 persen. Pembebasan bea masuk tersebut diberikan kepada Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap yang mengikat Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas dan PT Pertamina (Persero).

 

Selain itu, PMK No 20/PMK.010/2005 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor Tidak Dipungut atas Impor Barang Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contracts) Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa atas impor barang untuk keperluan kegiatan eksplorasi migas yang diimpor oleh Kontraktor Bagi Hasil migas diberikan fasilitas pembebasan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PPN dan PPnBM Impor, serta PPh Pasal 22 Impor) Tidak Dipungut. Fasilitas tersebut diberikan sampai dengan berakhirnya Kontrak Bagi Hasil yang bersangkutan.

 

Dalam paket kebijakan perbaikan iklim investasi yang tertuang dalam Inpres No 3/2006, Pemerintah menjanjikan deregulasi dan debirokratisasi yang menghambat minat investor. Pemerintah melakukan sinkronisasi perda dan pusat untuk mengurangi hambatan usaha dari berbagai perda bermasalah.

 

Di bidang kepabeanan, Pemerintah membentuk Tim Persiapan National Single Window (NSW) beserta 5 Satgas Pendukung melalui Instruksi Presiden No 3/2006 dan Keputusan Menko Perekonomian No Kep-22/M.EKON.03/2006. NSW merupakan sistem pelayanan dokumen ekspor dan impor yang dilakukan secara elektronik dan terintegrasi guna mempercepat pengurusan dokumen ekspor dan impor di pelabuhan. Pemberlakuan NSW diharapkan dapat mencegah terjadinya praktik pungutan liar di pelabuhan.

Dosen Fakultas Ekonomi Univeristas Gadja Mada (UGM) Denni Purbasari menilai bahwa substansi RUU Penanaman Modal (RUU PM) bias kepada kepentingan ekonomi jangka pendek untuk menarik modal, tidak memiliki arah/prioritas yang jelas.

 

Ia menambahkan bahwa RUU PM ini tidak jelas mengatur fungsi koordinasi dan pelaksanaan usaha penanaman modal. RUU ini juga tidak jelas mengatur pelimpahan wewenang penyelenggaraan kegiatan penanaman modal dari pusat ke daerah.

 

Liberalisasi dalam RUU ini, tambah Denni tidak tepat untuk meningkatkan investasi. Hal ini karena penurunan investasi disebabkan tingginya biaya berbisnis (pungli, perizinan pusat dan perda) dan menurunnya pasar Indonesia karena menurunnya daya beli.

 

Counter example di masa lalu, investasi di Indonesia bisa tinggi meskipun menggunakan UU lama yang restriktif, kata Denni dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus Penanaman Modal di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/9).

 

Selain itu, lanjut Denni, Cina, Malaysia dan Vietnam memiliki UU Penanaman Modal yang restriktif. Karena itu, ada ketidaktepatan antara alat (liberalisasi regime investasi) dengan tujuan (meningkatkan investasi).

Tags: