Pemilu Kada e-voting Harus Tetap Ada Dasar Hukumnya
Berita

Pemilu Kada e-voting Harus Tetap Ada Dasar Hukumnya

Mengingat mepetnya waktu pelaksanaan di sebagaian daerah, maka dasar hukum e-voting dalam Pemilu Kada cukup dengan peraturan KPU saja.

Sam
Bacaan 2 Menit
Pemilu Kada <i>e-voting</i> Harus Tetap Ada Dasar Hukumnya
Hukumonline

Selasa pekan lalu (30/3), Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya kembali membuat terobosan. Kali ini, MK memperbolehkan Pemilu Kada dengan metode pemungutan suara secara elektronik atau lazim disebut e-voting. Putusan ini terkait permohonan Bupati Jembrana Bali, I Gede Winasa yang meminta MK menguji Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Sesuai bunyi pasal yang diuji, Pasal 88, pemungutan suara ditetapkan dengan cara mencoblos. Namun, pemohon memaparkan sejumlah dalil yang menyatakan bahwa e-voting memiliki banyak keunggulan ketimbang cara “konvensional”, mencoblos atau mencontreng. Contoh suksesnya adalah pemilihan kepala dusun Kelihan Banjar Dinas di Desa Yehembang, Kabupaten Jembrana.  

 

Putusan MK menimbulkan beragam konsekuensi. Selain soal rumitnya pengawasan Pemilu Kada e-voting, Putusan MK juga memunculkan pertanyaan, “lalu apa dasar hukum pelaksanaan e-voting?”. MK memang mengabulkan permohonan pemohon untuk melaksanakan e-voting, tetapi Pasal 88 yang secara eksplisit menyebut “mencoblos” tidak dicabut.

 

MK menyatakan pasal itu tetap konstitusional sepanjang metode e-voting  tidak melanggar asas luber dan jurdil, dan daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap baik dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan.

 

Dihubungi hukumonline, Kamis (1/4), Anggota Komisi II Rahardi Zakaria mengatakan pelaksanaan e-voting harus tetap dituangkan dalam undang-undang. Dengan kata lain, sepanjang belum diubah, maka pelaksanaan Pemilu Kada harus sesuai dengan ketentuan undang-undang. “Saya berpegang pada aturan yuridis. Ada atau tidak aturan seperti itu (e-voting, red.), kan itu persoalannya. Kalau ada, bagaimana implementasinya aturan yuridis itu. Harus tertuang dulu dalam undang-undang,” tegasnya.

 

Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (TEPI), Jeirry Sumamow tidak sependapat dengan Rahardi. Menurut Jeirry, Putusan MK sudah cukup dijadikan dasar bagi KPU daerah melaksanakan e-voting. “Kalau kita lihat preseden sebelumnya, sudah bisa langsung dipakai ini. Karena kan Jembrana akan pilkada di tahun ini. Kalau menunggu revisi undang-undang. Itu terlalu lama. MK juga seringkali mengatakan begitu,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: