Pemerintah Perlu Publikasikan Naskah Akhir UU Cipta Kerja
Berita

Pemerintah Perlu Publikasikan Naskah Akhir UU Cipta Kerja

Agar tidak menimbulkan salah tafsir atau salah pendapat.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit

Sekretaris P3HKI, Abdul Khakim berpendapat bahwa dalam UU Cipta Kerja, secara kualitas kecenderungannya akan terjadi penurunan perlindungan tenaga kerja. Penurunan kualitas perlindungan tenaga kerja inilah yang dipersoalkan oleh kalangan buruh antara lain mengenai hilangnya jangka waktu PKWT. Sebelumnya salah satu ketentuan tegas diatur paling lama 3 tahun dari Pasal 59 ayat (1) huruf b UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. “Dengan tidak adanya pembatasan jangka waktu PKWT dapat diartikan bahwa PKWT akan terjadi terus-menerus bagi buruh, apalagi jika ditambah akumulasi praktik-praktik outsource yang menyimpang,” jelas Abdul.

Kemudian, apabila dalam Pasal 66 versi UU Cipta Kerja tidak ada pembatasan jenis pekerjaan penunjang (non-core business) yang dapat di-outsource, maka terbuka risko terjadi praktik-praktik outsource yang menyimpang semakin liar dan merugikan kalangan kaum buruh sebagai pihak yang lemah.

Dibatasi saja dalam UU 13/2003 masih dilanggar oleh pengusaha, apalagi tidak dibatasi? Bisa jadi akan berlaku ‘hukum rimba’ dalam sistem ketenagakerjaan ke depan. Kondisi faktual yang tidak bisa dipungkiri bahwa praktik outsourcing oleh sebagian pengusaha yang nakal dilakukan selalu dengan PKWT dan mengurangi hak-hak normatif pekerja untuk meningkatkan pundi-pundi keuntungannya,” jelas Abdul.

Dia mencontohkan pekerja outsource telah melakukan kerja lembur, tapi tidak dibayar upah lembur dan hanya diganti kompensasi yang nilai nominalnya sangat kecil dibanding perhitungan normatif. Contoh lain, THR dan cuti tahunan tidak diberikan, karena sudah disiasati dengan kontrak kerja kurang dari 1 tahun atau seperti 9 bulan, kemudian dikontrak lagi 9 bulan, dan begitu seterusnya.

Abdul juga menjelaskan dalam PHK terdapat beberapa pengurangan hak-hak normatif, yakni  menghapus penggantian perumahan dan pengobatan/perawatan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Terdapat juga penghapusan kelipatan uang pesangon 2 kali dalam Pasal 163 ayat (2), Pasal 164 ayat (3), Pasal 166, Pasal 167 ayat (5), Pasal 169 ayat (2), dan Pasal 172 UU 13/2003. Isu krusialnya bahwa uang pesangon merupakan hal yang sangat memberatkan bagi kalangan pengusaha, yang menjadi salah satu penghambat masuknya invenstasi ke Indonesia.

“Nasib UU Cipta Kerja juga tidak akan jauh berbeda dengan UU 13/2003, apabila pengawasan dan penegakan hukumnya lemah seperti yang terjadi selama ini. Persoalan mendasar lemahnya pengawasan ketenagakerjaan disebabkan karenakualitas dan kuantitas Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) yang tidak sebanding dengan semakin kompleksnya masalah ketenagakerjaan dan jumlah perusahaan yang harus diawasi dan minimnya biaya operasional dan sarana prasarana; dan (c) luasnya wilayah pengawasan (faktor geografis),” tutup Abdul.  

Tags:

Berita Terkait