Pemerintah Perlu Publikasikan Naskah Akhir UU Cipta Kerja
Berita

Pemerintah Perlu Publikasikan Naskah Akhir UU Cipta Kerja

Agar tidak menimbulkan salah tafsir atau salah pendapat.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi polemik bagi masyarakat sehingga memunculkan demonstrasi penolakan atas peraturan tersebut. Berbagai penolakan terjadi karena dianggap undang-undang tersebut merugikan kepentingan rakyat, termasuk pula kepentingan kaum buruh. Kecurigaan masyarakat pun semakin menguat ketika jumlah halaman RUU selalu berubah-ubah, yakni 905 halaman, 1.035 halaman, dan kemudian 812 halaman. Secara kuantitas, UU Cipta Kerja memuat 15 bab, 174 pasal, 11 klaster dan akumulasi dari 76 undang-undang, artinya keberadaan UU Cipta Kerja berdampak terhadap 76 undang-undang tersebut.

Kritik atas UU Cipta Kerja juga disampaikan Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI). Ketua P3HKI Asri Wijayanti (Ketua P3HKI) menyatakan DPR bersama pemerintah harus mempublikasikan naskah akhir UU Cipta Kerja agar tidak menimbulkan salah tafsir atau salah pendapat.

“Maka kami mohon agar undang-undang yang telah disetujui DPR segera dapat dipublikasikan sehingga tidak muncul konflik sosial. Mengingat sampai saat ini yang beredar di masyarakat baik yang kami terima lebih dari satu naskah, semuanya masih RUU dan bukan UU,” jelas Asri, Kamis (15/10).

Selanjutnya, Penasihat P3HKI Prof Aloysius Uwiyono juga menyampaikan dalam naskah UU yang beredar di masyarakat terdapat kekurangan yang masih belum berpihak pada pekerja. Dia menjelaskan ketentuan upah minimum yang diatur adalah untuk pekerja yang masa kerjanya kurang dari 1 tahun, tapi untuk memaksakan pelaksanaannya kepada pengusaha dalam RUU Cipta Kerja tidak ada sanksinya.

Kemudian, Aloysius juga menyatakan UU Cipta Kerja juga tidak mengatur jangka waktu Pelaksanaan Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Ketentuan terseut baru diatur dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berisiko pelanggaran terhadap ketentuan PKWT semakin tinggi. “Diatur dalam UU saja pengusaha sudah melanggar, apalagi nanti diatur dalam PP. Apakah dapat menjamin PKWT dalam UU Cipta Kerja itu akan dipatuhi oleh pengusaha?” kata Aloysius.

Lalu, dia juga mengkritik penghapusan outsourcing atau alih daya pekerjaan. Sementara outsourcing pekerja malah dimuat dalam UU Cipta Kerja sekarang. Menurutnya, outsourcing pekerjaan yang seharusnya dimuat. (Baca Juga: Pentingnya Keterbukaan Akses bagi Publik dalam Proses Legislasi)

“Outsourcing adalah antara main contractor dan subcontractor. Subcontractor memerlukan pekerjaan untuk mempekerjakan pekerja-pekerja itu. outsourcing pekerja itu kan mentransfer pekerja ke perusahaan yang lain. Dalam hal ini, bagaimana kita memaksakan adanya hubungan kerja antara perusahaan alih daya itu dengan pekerjanya, karena pekerjaan dan perintah ada di perus-haan yang mempekerjakan pekerja itu,” jelas Aloysius.

Praktisi hukum ketenagakerjaan, Umar Kasim, juga menyampaikan pandangannya, salah satunya tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), menurutnya Dalam Pasal 42 ayat (2) dinyatakan, bahwa pemberi kerja orang perorangan, dilarang mempekerjakan TKA. Pasal ini tidak tepat bagi “pemberi kerja TKA” (sponsor) yang bentuk entitasnya “bukan badan hukum” (entity). Karena bentuk usaha dimaksud, tanggung-jawabnya adalah tanggung-jawab perorangan, sehingga seseorang dapat diminta bertanggung-jawab secara tanggung-renteng (hoofdelijkeheid aansprakklijke), baik dari “inbreng”, dan bahkan sampai kepada harta pribadi.

Seharusnya, klausula dimaksud, merujuk pada maksud UU Penempatan Tenaga Asing (UU No.3 Tahun 1958), khususnya penjelasan Pasal 1, bahwa Tenaga Asing yang dilarang adalah: Tenaga Asing (TKA) yang bertindak sebagai swa-pekerja (vrije-beroepen), atau istilah sekarang “tenaga kerja mandiri” (self-employee, sole preprietorship)”.

Artinya, menurut Umar, TKA tidak boleh bekerja sebagai tenaga kerja mandiri. Walaupun faktanya, banyak TKA yang (misalnya) membuka praktek dokter secara pribadi (yang melayani TKA dari negara asalanya). Hal itu terjadi karena tafsir klausula dalam Pasal 42 ayat (2) tersebut, hanya melarang orang pribadi (naturlijke-persoon) mempekerjakan TKA.

Padahal maksudnya (secara histories), adalah TKA tidak boleh bekerja kecuali hanya pada suatu entitas perusahaan (business entity) atau korporasi, baik badan hukum (rechts-persoon) maupun bukan badan hukum (entity).   Dalam Pasal 42 ayat (3) dinyatakan, bahwa kewajiban pemberi kerja (sponsor-TKA) untuk memiliki rencana penggunaan TKA atau “RPTKA” (dan tentunya termasuk notifikasi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing-“IMTA”), tidak berlaku bagi Direksi atau Komisaris dengan kepemilikan saham tertentu, atau pemegang saham sesuai peraturan per-UU.

Ketentuan tersebut tidak tepat untuk multy national company (MNC), karena kepemilikan saham suatu perusahaan asing, terutama group (holding company) pada subsidiary atau sister company, pastinya bukan saham perorangan dan tidak sebagai pemegang saham pribadi (direct share holders), akan tetapi kepemilikan saham perusahaan group pada Trans National Company (TNC).

Persoalannya, Apakah seseorang TKA dimaksud juga akan dibebaskan dari -memiliki- RPTKA (dan notifikasi IMTA) apabila yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama holding co. atau sister co. (atau sebagai “kuasa pemegang saham”) yang diangkat menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris di perusahaan sponsor yang mempekerjakan TKA dimaksud (dan tercantum dalam akta pendirian atau akta perubahan-nya).

Kalau redaksinya seperti dalam Pasal 42 ayat (3) huruf a tersebut, tentu tidak bisa. Akan tetapi jika dilihat fakta hukumnya, dia (TKA tersebut) juga adalah “pemegang saham”, atau “kuasa pemegang saham”. Dengan demikian, pasal tersebut tentu akan mempersulit bagi investor dalam bentuk perusahaan TNC / MNC. Sebagai contoh, kepemilikan saham Toyota Indonesia, pasti bukan kepemilikan pribadi (personal ownership), akan tetapi kepemilikan Toyota holding di Jepang atau di berbagai negara.Oleh karena itu, disarankan dalam PP-nya nanti agar dijelaskan klausula dimaksud.

Sekretaris P3HKI, Abdul Khakim berpendapat bahwa dalam UU Cipta Kerja, secara kualitas kecenderungannya akan terjadi penurunan perlindungan tenaga kerja. Penurunan kualitas perlindungan tenaga kerja inilah yang dipersoalkan oleh kalangan buruh antara lain mengenai hilangnya jangka waktu PKWT. Sebelumnya salah satu ketentuan tegas diatur paling lama 3 tahun dari Pasal 59 ayat (1) huruf b UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. “Dengan tidak adanya pembatasan jangka waktu PKWT dapat diartikan bahwa PKWT akan terjadi terus-menerus bagi buruh, apalagi jika ditambah akumulasi praktik-praktik outsource yang menyimpang,” jelas Abdul.

Kemudian, apabila dalam Pasal 66 versi UU Cipta Kerja tidak ada pembatasan jenis pekerjaan penunjang (non-core business) yang dapat di-outsource, maka terbuka risko terjadi praktik-praktik outsource yang menyimpang semakin liar dan merugikan kalangan kaum buruh sebagai pihak yang lemah.

Dibatasi saja dalam UU 13/2003 masih dilanggar oleh pengusaha, apalagi tidak dibatasi? Bisa jadi akan berlaku ‘hukum rimba’ dalam sistem ketenagakerjaan ke depan. Kondisi faktual yang tidak bisa dipungkiri bahwa praktik outsourcing oleh sebagian pengusaha yang nakal dilakukan selalu dengan PKWT dan mengurangi hak-hak normatif pekerja untuk meningkatkan pundi-pundi keuntungannya,” jelas Abdul.

Dia mencontohkan pekerja outsource telah melakukan kerja lembur, tapi tidak dibayar upah lembur dan hanya diganti kompensasi yang nilai nominalnya sangat kecil dibanding perhitungan normatif. Contoh lain, THR dan cuti tahunan tidak diberikan, karena sudah disiasati dengan kontrak kerja kurang dari 1 tahun atau seperti 9 bulan, kemudian dikontrak lagi 9 bulan, dan begitu seterusnya.

Abdul juga menjelaskan dalam PHK terdapat beberapa pengurangan hak-hak normatif, yakni  menghapus penggantian perumahan dan pengobatan/perawatan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Terdapat juga penghapusan kelipatan uang pesangon 2 kali dalam Pasal 163 ayat (2), Pasal 164 ayat (3), Pasal 166, Pasal 167 ayat (5), Pasal 169 ayat (2), dan Pasal 172 UU 13/2003. Isu krusialnya bahwa uang pesangon merupakan hal yang sangat memberatkan bagi kalangan pengusaha, yang menjadi salah satu penghambat masuknya invenstasi ke Indonesia.

“Nasib UU Cipta Kerja juga tidak akan jauh berbeda dengan UU 13/2003, apabila pengawasan dan penegakan hukumnya lemah seperti yang terjadi selama ini. Persoalan mendasar lemahnya pengawasan ketenagakerjaan disebabkan karenakualitas dan kuantitas Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) yang tidak sebanding dengan semakin kompleksnya masalah ketenagakerjaan dan jumlah perusahaan yang harus diawasi dan minimnya biaya operasional dan sarana prasarana; dan (c) luasnya wilayah pengawasan (faktor geografis),” tutup Abdul.  

Tags:

Berita Terkait