Pemerintah Jelaskan Rasionalitas Larangan Pengumuman Survei Hasil Pemilu
Berita

Pemerintah Jelaskan Rasionalitas Larangan Pengumuman Survei Hasil Pemilu

Bagi pemerintah pengumuman hasil survei atau hitung cepat pemilu pada masa tenang dapat mengganggu ketertiban umum.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Ketentuan yang dimohonkan pengujian hanya soal waktu dan tidak terkait masalah konstitusionalitas berlakunya norma. Dengan demikian, asas-asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai amanat konstitusi dapat dilaksanakan secara efektif,” tegasnya.

 

Pasal 449

(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang

(5) Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.

(6) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.

 

Pasal 509

Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.0000,00 (dua belas juta rupiah).

 

Pasal 540

(1) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

(2) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).

 

Permohonan ini diajukan dua pemohon yakni Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) dengan No. 24/PUU-XVII/2019 dan PT Televisi Transformasi Indonesia, PT Media Televisi Indonesia, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT Lativi Mediakarya, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indikator Politik Indonesia dan PT Cyrus Nusantara dengan No. 25/PUU-XVII/2019.

 

Para Pemohon menilai pembentuk UU telah membangkang perintah konstitusi dan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf (i) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terutama asas ketertiban dan kepastian hukum. Sebab, mereka telah menghidupkan kembali aturan larangan pengumuman hasil survei/jajak pendapat pada masa tenang dan pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat beserta ketentuan pidana dalam UU Pemilu.

 

Padahal, seluruh norma dari pasal-pasal yang diuji ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi melalui tiga putusan MK. Pertama, Putusan MK No. 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009. Kedua, Putusan MK No. 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009. Ketiga, Putusan MK No. 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3 April 2014. Pemohon menilai penundaan publikasi hasil hitungan cepat berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu. Terlebih, Pemilu 2019, adalah pemilu perdana yang menggabungkan pilpres dan pileg dalam sejarah pemilu di Indonesia. Warga pemilih pasti sangat antusias untuk segera mendapat informasi seputar hasil pemilu.

 

Menurut pemohon, pembatasan waktu dengan ancaman pidana soal hitungan cepat seperti diatur pasal-pasal yang diuji justru berpotensi menimbulkan berita-berita palsu (hoaks) seputar hasil pemilu. Hal ini menurut para Pemohon akan menambah beban rumitnya pelaksanaan pemilu bagi penyelenggara pemilu, aparat penegak hukum, dan sulitnya menciptakan tujuan pemilu yang damai, tertib, adil, transparan, dan demokratis.

Tags:

Berita Terkait