Pemerintah: FTZ dan Pelabuhan Bebas hanya Bagian dari KEK
Perppu 1/2007

Pemerintah: FTZ dan Pelabuhan Bebas hanya Bagian dari KEK

Lewat argumen hukum, pemerintah bersikeras penetapan FTZ cukup dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan Dewan Perwakilan Daerah usulkan pengukuhan FTZ tetap melalui Undang-Undang.

Ycb
Bacaan 2 Menit
Pemerintah: FTZ dan Pelabuhan Bebas hanya Bagian dari KEK
Hukumonline

 

Malam itu, DPD tampil prima dan lebih tajam daripada DPR. Sebelumnya, DPR masih membawa perdebatan pada potensi bertabrakannya Perppu ini dengan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) serta UU 25/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 9 UU Pemda mensyaratkan, pembentukan FTZ dan pelabuhan bebas harus lewat UU. Sedangkan Pasal 31 UU PM mengamanatkan, pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) wajib dengan UU.

 

Memang, DPD tetap memegang argumen tersebut. Namun, wakil daerah ini juga punya 'peluru' tambahan. Nurmawati menengok Pasal 1 angka 2 UU 17/2006 tentang Kepabeanan. Seluruh wilayah Indonesia adalah daerah pabean. Sedangkan FTZ dan pelabuhan bebas terhindar dari bea masuk. Karena itu, kami mengusulkan definisi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas adalah suatu kawasan yang berada di dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana barang yang dibawa masuk ke kawasan tersebut tidak dipungut bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPNBM), lanjut Nurmawati.

 

UU Kepabeanan

Pasal 1 angka 2

Daerah Pabean adalam wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini

 

DPD seperti kebanyakan fraksi di DPR, masih mempertanyakan Pasal 4 Perppu 1/2007 yang mengatur pembentukan FTZ dan pelabuhan bebas via PP. Seharusnya tetap dengan UU, sesuai dengan UU Pemda, sambung Nurmawati. Dengan demikian, Nurmawati menilai status kawasan khusus Batam, Bintan, dan Karimun seharusnya dikukuhkan lewat UU.

 

Namun, Nurmawati sepakat dengan Pasal 2 Perppu 1/2007 yang mengatur batas-batas FTZ cukup dengan PP. Karena hal ini bersifat teknis. Tata cara penetapan dan pelaksanaan kawasan khusus memang cukup lewat PP.

 

Nurmawati menekankan pola monitor di kawasan khusus ini sangat penting. Jangan sampai kawasan ini disalahgunakan sebagai pintu masuk barang selundupan karena bebas bea masuk. Kami melihat terdapat 41 pelabuhan liar di Batam.

 

Terpisah, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengutarakan niatnya mendirikan Kantor Pelayanan Utama (KPU) di Batam, Bintan, dan Karimun. Tapi kita lihat perkembangan Perppu 1/2007 ini. Apakah kawasan khusus cukup ditetapkan lewat PP atau harus dengan UU. Setidaknya tahun depan KPU di sana sudah ada, ungkapnya seusai rapat.

 

Menurut Anwar, pelabuhan laut dan udara di luar kawasan khusus perlu diawasi arus masuk barangnya. Karena bebas bea masuk, kami akan menitikberatkan pada pengawasan barang keluar di kawasan khusus, sambungnya.

 

Argumen Hukum Pemerintah

Kali ini Andi Matalatta 'turun gunung' menguraikan segala argumen dari sisi hukum. Terkait dengan potensi tabrakan dengan UU Pemda, Andi menilai basis materi sebuah kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas masih berada pada UU 36/2000. Fungsi pemerintahan tertentu, termasuk fungsi pembangunan tetap diatur dalam UU 36/2000. sedangkan Perppu 1/2007 hanya mengatur penetapan kawasan khusus lewat PP. Ini adalah wajar, ebagai implementasi UU 36/2000, jelasnya.

 

Andi menjelaskan, sejarah lahirnya UU 36/2000 yang mengundangkan Perppu 1/2000 tersebut. Waktu itu, yang dipakai hanyalah sejumlah konvensi. Antara pemerintah dan DPR belum ada kesepakatan normatif, mana saja yang diatur dalam UU dan mana yang cukup via PP, tegasnya.

 

Selain itu, menurut Andi, Perppu ini tidak menyalahi asas legalitas UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tengok Pasal 8. Materi sebuah UU adalah hal-hal yang menyangkut beban dan kewajiban warga negara, kedaulatan, HAM, serta kewarganegaraan. Di luar itu, diatur oleh peraturan pelaksananya, termasuk PP, urainya.

 

Andi juga menyoroti potensi Perppu ini melabrak Pasal 31 UU PM. Ini ada kaitannya dengan Pasal 8 huruf b UU 10/2004 yang berisi diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU. Dalam UU PM, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) memang harus diatur dengan UU, katanya.

 

Menurut Andi, KEK hanyalah 'genus'. Dan pemerintah memang harus mempersiapkan draft UU KEK. Sedangkan FTZ dan pelabuhan bebas adalah 'spesies' KEK. Masih ada spesies lainnya, seperti kawasan pembangunan ekonomi terpadu (kapet), kawasan berikat (bonded zone), atau kawasa khusus lainnya. Wajar jika 'spesies' diatur dengan PP. Dan 'genus' lewat UU.

 

Menanggapi hal tersebut, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) masih masygul. Pertama, sudah berkali-kali menerima jawaban dari pemerintah, definisi KEK sama persis dengan FTZ dan pelabuhan bebas. Kedua, mana ada anak lahir duluan, sedangkan ibunya, UU KEK saja belum lahir, tukas Irmadi Lubis seusai rapat. Irmadi tetap bersikukuh, pembentukan kawasan khusus di Batam, Bintan, dan Karimun harus lewat UU.

 

Andi juga menyoroti mengapa PP Nomor 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang pembentukan tiga kawasan tersebut sudah lahir duluan. Tilik lagi Pasal 9 UU 10/2004. Materi muatan sebuah perppu sama dengan UU. Jadi Perppu 1/2007 sah saja menelurkan tiga PP tersebut. Justru itu letak kegentingannya. Kalau Perppu 1/2007 tidak mampu mengeluarkan tiga PP, artinya tidak urgent.

 

Andi menandaskan, usia perppu hanya sampai masa sidang berikutnya. Artinya, dalam hal ini, sampai 10 Oktober. Secara argumentum contrario, jika perppu mati, peraturan pelaksananya juga mati. Jika nantinya Perppu 1/2007 ditolak DPR, ketiga PP tersebut juga gugur. Namun saya yakin, DPR dan pemerintah tak akan tega membuat layu harapan kaum investor yang terlanjur mekar di Batam, Bintan, dan Karimun, tegasnya meyakinkan.

 

Kubu partai pendukung pemerintah tetap yakin, perppu ini berjalan mulus. Setelah mendengar ulasan Pak Andi, saya yakin tak ada masalah dalam kandungan Perppu 1/2007. Tak perlu ada lagi pertentangan, tukas Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrat, Agus Hermanto setelah rapat.

 

Kegentingan Ekonomi

Sedangkan yang menjelaskan ranah ekonomi adalah Marie. Marie menandaskan Batam bakal jauh tertinggal dari Iskandar Development Region. Iskandar merupakan kawasan khusus di Johor, Malaysia. Iskandar seluas tiga kali Singapura. Pemerintah Malaysia sudah punya rencana 20 tahun ke depan. Bahkan sudah ada investasi awal AS$1,4 miliar dari Timur Tengah.

 

Sedangkan Batam justru merosot. Lantaran tak ada kepastian hukum, 26 investor merelokasi usahanya. Buntutnya, 23 ribu buruh terkena pecat. Ekspor di sana juga menurun, dari AS$7 miliar menjadi AS$5 miliar.

 

Marie juga mengingatkan, India sudah mengantongi 100 lebih FTZ. Hasilnya, ekspor mereka meningkat tiga kali lipat. Iklim investasi Filipina juga terdongkrak tikel tiga. Ekspor juga berlipat sepuluh kali. Dari AS$2,7 miliar menjadi AS$36 miliar. Dus, negeri Gloria Arroyo ini telah menggandakan lapangan kerja lima kali lipat. Selain itu, Marie menuturkan perkembangan pesat adanya FTZ, sejak tahun 1970-an hingga sekarang.

 

Keterangan

Kondisi 1970-an

Kondisi sekarang

Jumlah negara berkawasan khusus

30-an negara

Lebih dari 100 negara

Jumlah FTZ

Sekitar 80 kawasan

Lebih dari 2.000

Penciptaan investasi

AS$6 miliar

AS$600 miliar

Penciptaan lapangan kerja

1 juta tenaga kerja

50 juta tenaga kerja

Sumber: Keterangan Menteri Perdagangan, 19 September 2007

 

Lutfi menjelaskan, baik kubu pemerintah maupun parlemen kudu mengedepankan tanggung jawab dalam penetapan kawasan khusus ini. Kita harus menjaga kepercayaan investor. Bukan lagi berbicara tentang kewenangan DPR atau pemerintah. Perlu ada stabilitas hukum, tukasnya seusai rapat.  

Rapat kerja Komisi VI DPR Rabu malam (19/9) itu lain dari biasanya. Kali ini, formasinya lengkap nian. Kursi anggota dewan yang biasanya lengang, saat itu hampir penuh. Pihak pemerintah pun tak kalah komplet. Ada Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta, Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi.

 

Hanya Menteri Keuangan Sri Mulyani yang absen lantaran sibuk otak-atik RAPBN 2008 di ruang sebelah, bersama Panitia Anggaran (Panggar). Hadir pula rombongan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) guna mengungkapkan saran dan masukan. Rapat tersebut merupakan lanjutan pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas (free trade zone, FTZ) dan Pelabuhan Bebas (Perppu 1/2007).

 

Sebelumnya, komisi bidang perindustrian dan perdagangan ini sudah menggelar dua kali rapat pemanasan. Pertama, menyerap pandangan para ahli hukum. Kedua, melontarkan pandangan masing-masing fraksi. Kali ini, giliran kubu eksekutif menanggapi pandangan para fraksi.

 

Titik debat perppu ini masih seputar penetapan sebuah FTZ yang cukup diatur oleh sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Perppu ini merevisi UU sebelumnya, UU 36/2000. UU tersebut masih mengatur, pengukuhan sebuah FTZ harus lewat sebuah UU.

 

DPD lebih Kritis

DPD tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menguraikan saran dan pandangannya. Perwakilan dari Panitia Ad Hoc II DPD (Bidang Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi) sepakat dengan adanya kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Demi terselenggaranya demokrasi ekonomi dan kemakmuran bersama, tukas juru bicara Nurmawati Bantilan (Sulawesi Tengah). 

Halaman Selanjutnya:
Tags: