Pemerintah-DPR Belum Siap Beri Keterangan, Pemohon Uji UU Cipta Kerja Kecewa
Berita

Pemerintah-DPR Belum Siap Beri Keterangan, Pemohon Uji UU Cipta Kerja Kecewa

Pihak Pemerintah masih membutuhkan waktu untuk menyusun keterangan pemerintah terhadap permohonan dari Pihak Pemohon.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit

Intinya, mereka menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja sejak pembahasan, persetujuan bersama, hingga pengesahan oleh Presiden pada 2 November 2020 melanggar Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur Pasal 5 huruf c, huruf f, huruf g, dan Pasal 72 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seperti diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 sebagai amanat Pasal 22A UUD 1945.

Seperti asas kejelasan tujuan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; keterbukaan; dan berubah-ubahnya UU Cipta Kerja baik sisi jumlah halaman maupun diduga substansinya. Menurut pemohon, adanya perubahan substansi RUU Cipta Kerja setelah persetujuan bersama DPR dan Presiden melanggar tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD Tahun 1945.  

Sedangkan KSPI melayangkan pengujian Pasal 81, 82, 83 UU Cipta Kerja yang mengubah, menghapus, dan menyisipkan pasal baru dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN; dan UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS.  

Misalnya, Pemohon menilai Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah, menghapus, dan menambahkan pasal baru dalam UU Ketenagakerjaan yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945. Misalnya, Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 42 UU Ketenagakerjaan yang antara lain menghapus izin tertulis dari Menteri dan menggantinya dengan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang disahkan pemerintah pusat.

Perubahan Pasal 42 UU Ketenagakerjaan itu dinilai akan memudahkan masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia, sehingga memperkecil peluang lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal (pekerja Indonesia). Ketentuan ini dinilai melanggar hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Hal ini melanggar hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2), 28D ayat (1) dan (2) UUD Tahun 1945,” demikian bunyi kutipan berkas permohonan pengujian Presiden KSPI Said Iqbal dkk, yang diunggah di laman www.mkri.go.id

Pasal 81 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 56 UU Ketenagakerjaan. Perubahan ini mengakibatkan ketentuan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja (kesepakatan). Sebelumnya, Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama 2 tahun dan diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Bagi para pemohon, perubahan ketentuan ini berpotensi membuat buruh bisa selamanya berstatus PKWT.

UU Cipta Kerja menghapus Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan terkait syarat dan batasan jenis pekerjaan di perusahaan alih daya (outsourcing). Hal ini membuat buruh outsourcing semakin rentan karena tidak mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum. Pasal 64 UU Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum adanya perjanjian secara tertulis antara perusahaan outsourcing dengan pekerja untuk menjamin agar pekerja mendapat imbalan, perlakuan yang adil, dan layak dalam hubungan kerja.

Tags:

Berita Terkait