Pemerintah dan DPR Kaji Piutang BUMN
Utama

Pemerintah dan DPR Kaji Piutang BUMN

RUU Piutang Negara dan Piutang Daerah diharapkan bisa menjadi payung hukum bagi BUMN/BUMD untuk mengembangkan usahanya secara profesional.

M Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

Anggota Komisi XI Muhammad Hatta setuju jika piutang BUMN/BUMD harus dikeluarkan dari piutang negara atau piutang daerah. Menurutnya, bagaimanapun juga untung ruginya BUMN/BUMD akan kembali ke negara karena ada modal awal dari negara yang disetor dan dikelola BUMN/BUMD.

“Kalau untung yang menikmati adalah negara, begitu juga kalau rugi. Jadi tidak bisa piutang bank BUMN/BUMD ini menjadi piutang negara/daerah,” katanya.

Sebelumnya, Komisi XI sempat mengundang berbagai institusi terkait pembahasan RUU ini, antara lain Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang meliputi Bank BNI, Bank BTN, Bank Mandiri dan Bank BRI; dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo). Pertemuan berlangsung pada 24 Oktober 2011.

Saat itu, Ketua Himbara Gatot Suwondo mengatakan, keberpihakan RUU PNPD terhadap Bank BUMN dan BUMD belum tegas. Menurutnya, definisi piutang negara belum menggambarkan secara tegas bahwa piutang Bank BUMN dan BUMD dikecualikan dari piutang negara.

Begitu juga dengan ketentuan mengenai pengurusan piutang macet Bank BUMN dan BUMD, tidak secara tegas disebutkan dalam batang tubuh RUU PNPD. Penjelasan mengenai penyelesaian piutang macet hanya disebut dalam mukadimah RUU PNPD. Dijelaskan Gatot, berlakunya UU PNPD berpotensi menimbulkan perbedaan penafsiran dan memerlukan harmonisasi dengan ketentuan lain terkait dengan PNPD.

“Jadi, perlu dipertegas bagaimana posisi piutang yang diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) ini sebelum undang-undang diberlakukan, apakah pengelolaannya tetap dilaksanakan PUPN atau tidak,” ujarnya.

Sekretaris Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Bambang Sutrisno, juga memberikan masukan. Menurutnya, RUU ini belum mengatur kewajiban pejabat untuk mengumumkan kepada publik, badan hukum ataupun pihak yang sedang dalam proses penagihan. Pasalnya, hal ini terkait dengan penerapan azas transparansi.

Asbisindo juga mencatat beberapa isu-isu pokok terkait RUU PNPD. Pertama, tentang penyerahan kewenangan eksekutorial. RUU ini memberikan kewenangan eksekutorial kepada pejabat pengurusan piutang, dimana kewenangan ini tidak diperoleh dari penetapan lembaga peradilan. Itu berarti pembagian kekuasaan yudisial kepada pejabat pengurusan piutang.

Kedua, mencegah moral hazard. Piutang daerah adalah piutang yang terbit karena kebijakan pemerintah daerah. Penyerahan kembali penyelesaiaan piutang kepada pemerintah pusat dapat menimbulkan moral hazard. Dengan kata lain, pemda dapat memberikan utang kepada siapa saja yang proses penyelesaiaannya diserahkan kepada pemerintah pusat.

Ketiga, tentang proses penyelesaiaan piutang. Proses penyelesaiaan piutang dengan menerbitklan penetapan piutang dan menerbitkan surat paksa tergambar sangat sederhana. “Kenyataannnya, penyelesaiaan piutang yang sudah dalam kondisi macet harus memperhitungkan banyak faktor dalam penyelesaiaannya,” pungkas Bambang.

Tags: