Pemerintah dan DPR Kaji Piutang BUMN
Utama

Pemerintah dan DPR Kaji Piutang BUMN

RUU Piutang Negara dan Piutang Daerah diharapkan bisa menjadi payung hukum bagi BUMN/BUMD untuk mengembangkan usahanya secara profesional.

M Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Pemerintah dan DPR Kaji Piutang BUMN. Foto: SGP
Pemerintah dan DPR Kaji Piutang BUMN. Foto: SGP

Menteri Keuangan Agus Martowardojo bisa bernafas lega untuk sejenak. Soalnya, Komisi XI DPR telah menyepakati 176 dari 500 pasal dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUUPiutang Negara dan Piutang Daerah (PNPD) yang diajukan oleh pemerintah. Artinya, sudah 35,2 persen daftar masalah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Agus mengatakan, pembahasan mengenai RUU PNPD sangat diperlukan mengingat banyaknya BUMN dan BUMD yang sulit menagih piutang yang telah dikeluarkan. Menurutnya, diperlukan undang-undang khusus tentang pengurusan piutang negara dan piutang daerah.

“Tentu saja kita menyambut baik hal ini. Kita berharap RUU ini akan terus dibahas untuk mendapatkan usulan baru,” ujarnya dalam rapat kerja pengesahan DIM RUU PNPD di Komisi XI DPR, Kamis (2/2).

Kehadiran UU PNPD juga diperlukan sebagai payung hukum bagi perusahaan plat merah agar lebih mengembangkan usahanya di dunia profesional. Apalagi, kepemilikan BUMN atau BUMD tidak sepenuhnya dikuasai pemerintah saat ini. Agus berharap jika RUU ini disetujui, BUMN/BUMD nantinya diizinkan untuk mengelola piutangnya sendiri, sehingga tidak timbul kekhawatiran adanya kerugian negara.

Menurut Agus, salah satu yang dikeluhkan oleh perusahaan-perusahaan plat merah adalah mereka selalu dihadapkan pada situasi bahwa piutang perseroan yang dimiliki oleh negara atau BUMN atau BUMD selalu dianggap sebagai piutang negara.

Dia juga menjelaskan undang-undang ini nantinya mengatur jika piutang negara tidak perlu diatur panitia, cukup Kementerian Keuangan, sehingga unit yang menangani piutang negara dapat lebih efisien dan lebih efektif. “Kalau disusun oleh panitia nanti tidak ada yang merasa betul-betul bertanggung jawab untuk melaksanakannya,” tuturnya.

Direktur Piutang Kementerian Keuangan Soepomo menambahkan, hingga 2011 jumlah utang negara yang masih tertunggak mencapai Rp57 triliun yang terdiri dari 150 ribu debitur. Piutang paling besar berasal dari eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang merupakan obligor. Menurut Soepomo, dari Rp57 triliun tersebut, sebanyak Rp20 triliun berasal dari piutang BUMN yang tercatat sejak 2006. Sedangkan untuk BUMD, ia memperkirakan jumlahnya hanya puluhan miliar.

Anggota Komisi XI Muhammad Hatta setuju jika piutang BUMN/BUMD harus dikeluarkan dari piutang negara atau piutang daerah. Menurutnya, bagaimanapun juga untung ruginya BUMN/BUMD akan kembali ke negara karena ada modal awal dari negara yang disetor dan dikelola BUMN/BUMD.

“Kalau untung yang menikmati adalah negara, begitu juga kalau rugi. Jadi tidak bisa piutang bank BUMN/BUMD ini menjadi piutang negara/daerah,” katanya.

Sebelumnya, Komisi XI sempat mengundang berbagai institusi terkait pembahasan RUU ini, antara lain Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang meliputi Bank BNI, Bank BTN, Bank Mandiri dan Bank BRI; dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo). Pertemuan berlangsung pada 24 Oktober 2011.

Saat itu, Ketua Himbara Gatot Suwondo mengatakan, keberpihakan RUU PNPD terhadap Bank BUMN dan BUMD belum tegas. Menurutnya, definisi piutang negara belum menggambarkan secara tegas bahwa piutang Bank BUMN dan BUMD dikecualikan dari piutang negara.

Begitu juga dengan ketentuan mengenai pengurusan piutang macet Bank BUMN dan BUMD, tidak secara tegas disebutkan dalam batang tubuh RUU PNPD. Penjelasan mengenai penyelesaian piutang macet hanya disebut dalam mukadimah RUU PNPD. Dijelaskan Gatot, berlakunya UU PNPD berpotensi menimbulkan perbedaan penafsiran dan memerlukan harmonisasi dengan ketentuan lain terkait dengan PNPD.

“Jadi, perlu dipertegas bagaimana posisi piutang yang diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) ini sebelum undang-undang diberlakukan, apakah pengelolaannya tetap dilaksanakan PUPN atau tidak,” ujarnya.

Sekretaris Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Bambang Sutrisno, juga memberikan masukan. Menurutnya, RUU ini belum mengatur kewajiban pejabat untuk mengumumkan kepada publik, badan hukum ataupun pihak yang sedang dalam proses penagihan. Pasalnya, hal ini terkait dengan penerapan azas transparansi.

Asbisindo juga mencatat beberapa isu-isu pokok terkait RUU PNPD. Pertama, tentang penyerahan kewenangan eksekutorial. RUU ini memberikan kewenangan eksekutorial kepada pejabat pengurusan piutang, dimana kewenangan ini tidak diperoleh dari penetapan lembaga peradilan. Itu berarti pembagian kekuasaan yudisial kepada pejabat pengurusan piutang.

Kedua, mencegah moral hazard. Piutang daerah adalah piutang yang terbit karena kebijakan pemerintah daerah. Penyerahan kembali penyelesaiaan piutang kepada pemerintah pusat dapat menimbulkan moral hazard. Dengan kata lain, pemda dapat memberikan utang kepada siapa saja yang proses penyelesaiaannya diserahkan kepada pemerintah pusat.

Ketiga, tentang proses penyelesaiaan piutang. Proses penyelesaiaan piutang dengan menerbitklan penetapan piutang dan menerbitkan surat paksa tergambar sangat sederhana. “Kenyataannnya, penyelesaiaan piutang yang sudah dalam kondisi macet harus memperhitungkan banyak faktor dalam penyelesaiaannya,” pungkas Bambang.

Tags: