Pemerintah: Pembatasan Iklan Kampanye Konstitusional
Berita

Pemerintah: Pembatasan Iklan Kampanye Konstitusional

Bagi pemerintah 'citra diri' dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu meliputi logo dan nomor urut partai peserta pemilu yang bersifat mengikat (melekat). Aturan pembatasan iklan saat kampanye justru dinilai menciptakan keadilan, kesetaraan bagi partai politik dan bakal calon legislatif yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Aida Mardatillah/M-27
Bacaan 2 Menit

 

Menanggapi permohonan ini, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pujianto mengatakan definisi “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 meliputi dua hal, yakni logo dan nomor urut partai peserta pemilu. Citra diri ini bersifat alternatif dan mengikat (melekat). “Partai Politik dan bakal calon legislatif tidak boleh menyertakan logo dan nomor urut partai meski hanya menggunakan salah satunya, tetap dinyatakan berkampanye,” kata Sigit di ruang sidang MK, Selasa (16/15/2018).

 

Ia menjelaskan adanya pengaturan citra diri bukan membatasi partai politik dan bakal calon legislatif dalam memperkenalkan diri kepada masyarakat. Bakal calon diperbolehkan melakukan sosialisasi, selama tidak memuat logo partai dan nomor urut partai sebelum masa kampanye dimulai. Hal ini demi menciptakan keadilan dan ketertiban bagi semua partai dan bakal calon anggota legislatif.  

 

Menurut pemerintah, Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili apa yang telah diproses lembaga lain. MK hanya berwenang mengadili norma pengujian UU yang bertentangan dengan UUD 1945. “Karena itu, aturan itu konstitusional karena termasuk open legal policy,” kata dia.

 

Pembatasan iklan kontitusional

Tak hanya itu, Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2). PSI berpendapat telah membatasi dirinya secara mandiri melakukan kampanye, seperti pemasangan alat peraga, iklan media massa cetak, elektronik dan internet terutama pada 21 hari sebelum masa tenang. PSI beranggapan hal ini jelas bertentangan dengan hak dan kebebasan yang dijamin UUD 1945.

 

Pasal 275 ayat (2)

“Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf f, dan huruf h difasilitasi KPU, yang dapat didanai oleh APBN,”

Pasal 276 ayat (2)

“Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) huruf f dan huruf g dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya Masa Tenang.”

Pasal 293 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)  

  1. Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa Kampanye Pemilu.
  2.  Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu di radio untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa Kampanye Pemilu.
  3. Batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk semua jenis iklan

 

Bagi PSI, aturan itu telah membatasi partai baru yang mengindikasikan adanya kartel politik yang dilakukan partai lama. Selain itu, pembuat UU memang telah berniat baik agar politik tidak bergantung kepada ketersedian modal yang beriklan. Namun sangat disayangkan niat baik ini merugikan PSI sebagai partai baru karena tidak diberikan ruang bagi partai baru untuk beriklan selain melalui kanal yang disediakan KPU.

 

Namun, bagi pemerintah pemasangan alat peraga di tempat umum, iklan, media massa cetak, media massa elektronik, internet, dan materi debat pasangan calon difasilitasi oleh KPU, serta didanai APBN bertujuan mengendalikan uang dalam politik. “Adanya fasilitas dari KPU dan pendanaan APBN, dapat menciptakan kesetaraan, kesempatan partai politik, bahkan bakal calon legislatif yang melakukan kampenye. Justru ini memberikan kemudahan bagi partai politik baru agar tidak menimbulkan keributan di masyarakat akibat kampanye negatif, seperti berbau SARA,” lanjut Sigit.

Tags:

Berita Terkait