Pemberian Grasi untuk Annas Maamun Menuai Kritik
Berita

Pemberian Grasi untuk Annas Maamun Menuai Kritik

Bagi ICW, alasan Presiden memberikan grasi lantaran rasa kemanusiaan pun tak dapat dibenarkan. Sebab, indikator rasa kemanusiaan tidak dapat diukur secara jelas. Karena itu, ICW mendesak Presiden agar mencabut grasi yang telah diberikan kepada terpidana Annas Maamun.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gubernur Riau Nonaktif Annas Maamun usai menjalani pemeriksaan di KPK. Foto: RES
Gubernur Riau Nonaktif Annas Maamun usai menjalani pemeriksaan di KPK. Foto: RES

“Kami kaget juga”. Ungkapan kekecewaan dilontarkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Muhammad Laode Syarif menanggapi keputusan grasi yang diberikan Presiden Jokowi terhadap terpidana kasus korupsi (suap) alih fungsi lahan untuk kepala sawit di Provinsi Riau, Annas Maamun dengan alasan kemanusiaan. Dia menganggap semangat pemberantasan korupsi semestinya memperlakukan terpidana korupsi berbeda dengan kasus hukum lain.

 

Namun, kata dia, keputusan Presiden memberi grasi terhadap Annas dengan alasan usianya menua dan sakit-sakitan di luar kewenangan KPK. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah melayangkan surat ke KPK yang intinya agar melaksanakan keputusan presiden tentang pemberian grasi terhadap Gubernur Riau nonaktif itu. “Pasti akan dilaksanakan oleh KPK,” ujar Laode di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (28/11/2019). Baca Juga: Faktor Kemanusiaan Jadi Alasan Grasi, Seperti Apa Indikatornya?

 

Menurutnya, kasus hukum yang menjerat Annas cukup banyak, sebagian masih dalam tingkat penyelidikan KPK yang melibatkan korporasinya, PT Duta Palma. Seperti diketahui, Annas didakwa dengan dakwaan komulatif yang berarti tidak hanya satu perkara saja, namun ada tiga perkara korupsi yang dilakukannya dan sudah berkekuatan hukum tetap. 

 

Pertama menerima suap AS$166,100 dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut terkait kepentingan memasukan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 Hektar di 3 Kabupaten dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau. Kedua, menerima suap Rp500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas Manurung terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di lingkungan Provinsi Riau.

 

Ketiga, menerima suap Rp3 miliar dari janji Rp8 miiliar (dalam bentuk mata uang dollar Singapura) dari Surya Darmadi melalui Suheri Terta untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Argo yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau. Ia juga masih terjerat kasus suap lain dengan peran sebagai pemberi terkait pembahasan RAPBD Tahun Anggaran 2014 dan 2015 pada Provinsi Riau yaitu kepada salah satu anggota DPRD berinisial AK.

 

“Namun, kita berharap bila telah berada di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Annas dapat bersikap kooperatif ketika ada pengusutan kasus korupsi yang berkaitan dengan dirinya,” kata Laode.

 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengecam langkah Presiden Jokowi tersebut. Namun, Kurnia memaklumi sikap Presiden karena sejak awal Presiden Jokowi dinilai tidak memiliki komitmen antikorupsi yang jelas. Baginya, narasi yang dilontarkan Jokowi sepanjang satu periode sebelumnya serta masa kampanye hanyalah bualan belaka. “Itu hanya omong kosong,” ujarnya.

 

Dia mempertanyakan keputusan Jokowi memberi grasi terhadap Annas. Padahal, kejahatan korupsi digolongkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, sehingga pengurangan hukum dalam bentuk dan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Alasan Presiden memberikan grasi lantaran rasa kemanusiaan pun tak dapat dibenarkan. Sebab, indikator rasa kemanusiaan tidak dapat diukur secara jelas.

 

“Langkah Presiden Joko Widodo mencoreng rasa keadilan masyarakat. Karena itu, ICW mendesak Presiden Jokowi agar mencabut grasi yang telah diberikan kepada terpidana Annas Maamun,” pintanya.

 

Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Nina Zainab menilai grasi Presiden Jokowi dengan alasan kemanusiaan bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi sebagaimana termuat dalam konsideran UU Pemberantasan Tipikor. “Grasi untuk Annas ini menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi,” kata Nina.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini mengatakan perlunya memahami postulat moral dibentuknya UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Sebab, kejahatan tipikor sebagai kejahatan luar biasa, sehingga penanggulanganya juga dengan cara-cara luar biasa. Termasuk kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) ataupun kebijakan pidana (criminal policy).

 

Namun demikian, Nina menilai pemberian grasi oleh Presiden terhadap Annas Maamun secara prosedural tidak ada masalah secara hukum. Sebab, grasi merupakan kewenangan konstitusional di bidang yudisial yang dimiliki Presiden. “Jadi persoalannya tetap pada Presiden terkait komitmennya dalam pemberantasan korupsi,” katanya.

 

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengabulkan permohonan grasi yang diajukan Annas Maamun. Kepala Bagian (Kabag) Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto mengatakan, pengajuan grasi karena alasan kemanusiaan berdasarkan Permenkumham No.49 Tahun 2019 tentang Tata Cara Permohonan Grasi.

 

Menurut Ade, salah satu pertimbangannya, Annas telah berusia 78 tahun (tua renta) dan menderita sakit berkepanjangan yang mengidap berbagai penyaki sesuai keterangan dokter. Seperti, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK/COPD akut), dispepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak nafas yang membutuhkan penggunaan oksigen setiap harinya.

 

Alasan itu tersebut menjadi pertimbangan Presiden mengabulkan permohonan grasi Annas. Ade mengacu Pasal 6A ayat (1) dan (2) UU No.5 Tahun 2010 tentang grasi. Ayat (1) menyebutkan, Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi.”

 

Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A ayat (1) dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden”. Selanjutnya, Presiden dapat memberikan grasi setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulis dari Mahkamah Agung (MA) dan Menteri Hukum dan HAM.

 

Seperti diketahui, majelis hakim tindak pidana korupsi pada PN Bandung pernah menjatuhkan hukuman terhadap Annas Maamun selama enam tahun penjara. Annas dinilai terbukti bersalah melakukan tipikor dalam kasus suap alih fungsi kawasan hutan senilai Rp5 miliar di Riau pada akhir 2014. Annas pun dibebankan membayar denda sebesar Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Hingga putusan ini berkekuatan hukum tetap di MA pada 4 Februari 2016.

Tags:

Berita Terkait