Pembentukan Badan Usaha Khusus Migas Masih Menjadi Sorotan
Berita

Pembentukan Badan Usaha Khusus Migas Masih Menjadi Sorotan

Perlu ada harmonisasi antar sektor energi.

CR-24
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Sejumlah Masukan Peneliti Terkait Revisi UU Migas).

 

Tetapi diakui Tumpak, pembentukan BUK bukan tanpa masalah. Bisa jadi BUK tidak efektif karena mencampuradukkan kewenangan hulu dan hilir dalam memaksimalkan potensi migas. “Penggabungan ini akan menimbulkan masalah baru. Saya melihat ke depannya persoalan revisi UU Migas ini sesuai sasaran pemerintah menegaskan Pertamina tidak akan dijadikan BUK," kata Tumpak.

 

Jika Pertamina dijadikan BUK, perusahaan ini akan punya kewenangan yang sangat besar mulai dari regulator, operator hingga pengawasan. "Untuk itu, dengan BUK tidak akan pengaruhi penerimaan. Persoalan lain, apakah Pertamina bisa lebih dinamis. Tentu  tidak. Dimana-mana lebih perusahaan gemuk lebih sulit berkembang," jelas Tumpak.

 

Pembagian Wilayah Kerja

Pengawas Internal Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas Taslim Yunus tidak sependapat dengan Arif. Menurutnya sektor migas bukan hanya masalah komoditas. Tetapi ia sepakat bahwa kekayaan alam Indonesia termasuk migas harus ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

Menurut dia, industri migas juga mempunyai nilai yang tinggi dan sebaliknya memiliki resiko yang tinggi pula. Sedikit berbeda dengan batubara yang dianggap mempunyai resiko lebih rendah. Karenanya harus ada payung hukum yang jelas untuk mengelola sektor migas. Taslim berpendapat kurangnya hasil bumi dari migas bukan semata-mata sumber daya di sektor tersebut telah menipis. Tetapi pemerintah tidak mempunyai data yang cukup tentang dimana tata letak minyak dan gas bersembunyi di bumi Indonesia.

 

"Tahun 1997, ketika harga minyak turun Iran membeli kapal hanya untuk survei lokasi migas. Mereka kumpulkan datanya, lalu ketika harga minyak naik dia jual kapal itu dan sudah tahu dimana lokasinya," ujar Taslim.

 

Taslim juga menceritakan ada suatu perusahaan menginvestasikan $120 juta dolar Amerika Serikat (AS) di sektor migas padahal belum diketahui apakah lahan tersebut mengandung migas atau tidak. "Berani tidak masuk ke situ. Saya tidak yakin diberikan swasta nasional, kita perlu yang punya modal besar. Ke depan kita bagilah wilayah kerja sesuai resiko, mana untuk perusahaan BUMN, swasta nasional dan mana multinasional," tuturnya.

 

Taslim melanjutkan, pemerintah belum secara maksimal memanfaatkan potensi cadangan minyak termasuk mengkomersialkan potensi gas bumi. Contohnya saja blok Masela itu ditemukan pada tahun 2000 tetapi baru dieksploitasi pada 2026 mendatang.

 

"Kita baru sadar beralih ke gas saat minyak naik. Cadangan harus dikelola secara enterpreneurship. Kemudian masih ada beberapa kargo belum berfungsi," imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait