Pembentukan Badan Usaha Khusus Migas Masih Menjadi Sorotan
Berita

Pembentukan Badan Usaha Khusus Migas Masih Menjadi Sorotan

Perlu ada harmonisasi antar sektor energi.

CR-24
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi revisi UU Migas di Setnas Jokowi, Rabu (25/10). Foto: AJI
Suasana diskusi revisi UU Migas di Setnas Jokowi, Rabu (25/10). Foto: AJI

Revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas belum juga kelar. Hingga kini para pemangku kepentingan masih memperdebatkan beberapa substansi RUU Migas. Salah satu yang disorot adalah rencana pembentukan suatu Badan Usaha Khusus (BUK). BUK inilah rencananya yang akan mengelola sektor migas secara keseluruhan dari hulu hingga hilir, termasuk melaksanakan kontrak kepada pihak ketiga.

 

Dalam sejumlah diskusi, gagasan yang berkembang adalah pembentukan Holding BUMN di bidang migas. Pemerintah juga cenderung mengarah pada pembentukan suatu holding. Selaku pemegang kendali penuh atas sumber daya energi, Pemerintah bisa mendapatkan solusi atas beragam persoalan migas. Tetapi hingga kini gagasan holding BUMN migas belum terwujud.

 

(Baca juga: Pemerintah Godok PP Holding BUMN Migas).

 

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) Arif Budimanta berpendapat sebaiknya revisi UU Migas tidak hanya mengatur migas semata, tetapi juga mencakup energi secara keseluruhan. Ia beralasan harus ada harmonisasi antara migas dan sektor energi lain seperti mineral batubara (minerba), ketenagalistrikan, dan energi terbarukan.

 

Arif membandingkan produksi migas dan kelapa sawit untuk saat ini. Kepala sawit tak diatur negara secara khusus pengelolaannya, tetapi bisa menjadi salah satu primadona ekspor di Indonesia. Komoditi lain seperi migas seharusnya bisa berkembang tanpa harus ada aturan khusus. Lebih baik diterbitkan UU tentang Energi yang mencakup semuanya. “Mending keluarkan UU Energi untuk migas, listrik, dan batubara," ujar Arif dalam seminar yang diadakan Seknas Jokowi di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (25/10).

 

Menurut Arif ada tiga perspektif utama yang harus diperhatikan dalam industri migas. Pertama, fungsi ekonomi, kedua, fungsi sosial, dan ketiga, fungsi ekologi. Sebab jika berbicara migas berarti bicara industri yang tidak terbarukan. "Basis ekonomi kita itu harusnya industri, sedangkan komoditi untuk modal pembangunan. Namun di tengah konsumen migas maka bagaimana langkah yang harus dilakukan apakah migas dipakai sepenuhnya dalam negeri atau sumber penghasil devisa," terangnya.

 

Menurut Arif, perlu dibuat neraca yang jelas mengenai manfaat ekonomi dari hasil migas apakah akan diekspor sebagian atau sepenuhnya untuk kebutuhan nasional. "Menurut pandangan kami kalau berdasarkan UU Migas, migas harus diletakkan untuk kemajuan dalam negeri dulu yang utama," pungkasnya.

Pertanyaannya, BUK apa yang diberi tanggung jawab mengelola energi secara keseluruhan? Kepala Bidang Energi Seknas Jokowi Tumpak Sitorus menyebutkan pembentukan BUK itu sejalan dengan  putusan MK Tahun 2012 yang meminta pemerintah membentuk lembaga khusus untuk mengelola migas.

 

(Baca juga: Sejumlah Masukan Peneliti Terkait Revisi UU Migas).

 

Tetapi diakui Tumpak, pembentukan BUK bukan tanpa masalah. Bisa jadi BUK tidak efektif karena mencampuradukkan kewenangan hulu dan hilir dalam memaksimalkan potensi migas. “Penggabungan ini akan menimbulkan masalah baru. Saya melihat ke depannya persoalan revisi UU Migas ini sesuai sasaran pemerintah menegaskan Pertamina tidak akan dijadikan BUK," kata Tumpak.

 

Jika Pertamina dijadikan BUK, perusahaan ini akan punya kewenangan yang sangat besar mulai dari regulator, operator hingga pengawasan. "Untuk itu, dengan BUK tidak akan pengaruhi penerimaan. Persoalan lain, apakah Pertamina bisa lebih dinamis. Tentu  tidak. Dimana-mana lebih perusahaan gemuk lebih sulit berkembang," jelas Tumpak.

 

Pembagian Wilayah Kerja

Pengawas Internal Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas Taslim Yunus tidak sependapat dengan Arif. Menurutnya sektor migas bukan hanya masalah komoditas. Tetapi ia sepakat bahwa kekayaan alam Indonesia termasuk migas harus ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

Menurut dia, industri migas juga mempunyai nilai yang tinggi dan sebaliknya memiliki resiko yang tinggi pula. Sedikit berbeda dengan batubara yang dianggap mempunyai resiko lebih rendah. Karenanya harus ada payung hukum yang jelas untuk mengelola sektor migas. Taslim berpendapat kurangnya hasil bumi dari migas bukan semata-mata sumber daya di sektor tersebut telah menipis. Tetapi pemerintah tidak mempunyai data yang cukup tentang dimana tata letak minyak dan gas bersembunyi di bumi Indonesia.

 

"Tahun 1997, ketika harga minyak turun Iran membeli kapal hanya untuk survei lokasi migas. Mereka kumpulkan datanya, lalu ketika harga minyak naik dia jual kapal itu dan sudah tahu dimana lokasinya," ujar Taslim.

 

Taslim juga menceritakan ada suatu perusahaan menginvestasikan $120 juta dolar Amerika Serikat (AS) di sektor migas padahal belum diketahui apakah lahan tersebut mengandung migas atau tidak. "Berani tidak masuk ke situ. Saya tidak yakin diberikan swasta nasional, kita perlu yang punya modal besar. Ke depan kita bagilah wilayah kerja sesuai resiko, mana untuk perusahaan BUMN, swasta nasional dan mana multinasional," tuturnya.

 

Taslim melanjutkan, pemerintah belum secara maksimal memanfaatkan potensi cadangan minyak termasuk mengkomersialkan potensi gas bumi. Contohnya saja blok Masela itu ditemukan pada tahun 2000 tetapi baru dieksploitasi pada 2026 mendatang.

 

"Kita baru sadar beralih ke gas saat minyak naik. Cadangan harus dikelola secara enterpreneurship. Kemudian masih ada beberapa kargo belum berfungsi," imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait