Pembayaran Upah Buruh dalam Proses Kepailitan
Oleh: Imam Nasima dan Eryanto Nugroho

Pembayaran Upah Buruh dalam Proses Kepailitan

Idealnya, begitu upah tidak dibayarkan, saat itu pula buruh harus segera menuntut haknya. Ketika perusahaan mengalami krisis finansial dan kondisi tersebut terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, maka semakin tak jelas pula nasib mereka yang bekerja di perusahaan tersebut.

Bacaan 2 Menit

 

Dihapuskannya sistem hukum jaminan akan berakibat pada rusaknya sistem perkreditan. Tanpa adanya jaminan tertentu diberikan, maka kreditor tidak akan mau meminjamkan uangnya. Tentu, pada akhirnya hal tersebut juga akan berpengaruh pada usaha penciptaan lapangan kerja. Sehingga, pilihan tersebut bisa dikata tidak realistis dan juga tidak menyelesaikan masalah.

 

Hal yang mungkin bisa diperbaiki lagi, adalah peran kurator dalam menyikapi hak-hak jaminan kebendaan yang melekat pada harta pailit. Apabila nilai jual benda yang dijaminkan lebih besar dari nilai kredit yang (mungkin) telah diangsur sebagian, maka akan menguntungkan untuk membayar sisa kredit yang masih terutang.

 

Selain itu juga, penerapan prinsip 5C: Character (watak); Capacity (kemampuan); Capital (modal); Conditions (keadaan); dan Collateral (jaminan), perlu benar-benar diperhatikan secara seksama dalam pemberian kredit. Nilai besaran jaminan seharusnya, selain melindungi resiko kreditur, juga mempertimbangkan kepentingan pelaksanaan pembayaran upah buruh jika kepailitan terjadi.

    

E. Meningkatkan Pengawasan Proses Kepailitan

Dalam proses kepailitan, kurator dan hakim pengawas memegang peran yang menentukan. Dari pengurusan harta pailit, penentuan daftar urutan pembagian melalui rapat kreditor, hingga pemberesan harta pailit saat terjadi keadaan insolvensi; itu semua membutuhkan kecermatan dan ketelitian kurator dan hakim pengawas.

 

Pada posisi yang menentukan, tentu obyektivitas dan integritas ke dua aktor tersebut harus tetap terjaga. Masalahnya, dua hal ini pula yang juga membuka ruang konflik, karena adanya ketidakpuasan pihak-pihak kreditor terkait. Namun begitu, sebenarnya undang-undang juga telah menyediakan solusi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Selain tuntutan pada kurator yang dianggap merugikan harta pailit,[22] kreditor yang tidak sependapat dengan daftar urutan pembagian yang dibuat kurator dapat pula menuntut pengadilan untuk memutuskan, apabila ternyata hakim pengawas tak dapat mendamaikan perselisihan tersebut.[23]   

 

Kendala-kendala yang barangkali dihadapi dalam menjalankan alternatif penyelesaian tersebut, selain ketidaktahuan pihak-pihak kreditor akan status utang mereka, juga disebabkan oleh kekurangcakapan kurator dan hakim pengawas. Usaha perbaikan yang bisa dilakukan, adalah pembuatan buku pegangan (manual) yang bisa menjadi referensi kurator dan hakim pengawas. Training-training atau kursus-kursus praktis yang diselenggarakan secara intensif dan berkelanjutan, juga dapat meminimalisir kendala-kendala tersebut.

 

Bagaimanapun juga, usaha meningkatkan kinerja kurator dan hakim pengawas, tetap belum sepenuhnya menjawab permasalahan upah buruh yang tidak terbayarkan, akibat harta pailit yang tidak mencukupi. Untuk itu, ke depannya, tidak cukup dengan sistem perlindungan pesangon, namun, harus ada sistem asuransi yang dapat digunakan untuk meminimalisir resiko pekerja kehilangan upahnya akibat kepailitan. 

 

F. Merombak Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sistem Jaminan Sosial Nasional diatur di dalam UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 40/2004 tenntang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Selain ke dua peraturan perundang-undangan tersebut, ada pula aturan yang bersifat lebih teknis, seperti Permen No. PER-12/MEN/VI/2007.

 

Ruang lingkup sistem jaminan sosial menurut UU No. 3/1992 meliputi (1) jaminan kecelakaan kerja, (2) jaminan kematian, (3) jaminan hari tua, (4) jaminan pemeliharaan kesehatan (pasal 6). Dalam UU No. 40/2004 yang lebih baru, hanya ditambahkan (5) jaminan pensiun, sebagai obyek yang diatur dan mendapatkan perlindungan sosial.

 

Dari paparan di atas, kehilangan pekerjaan bukan merupakan resiko yang ikut dijamin. Padahal, dalam kasus perusahaan pailit dengan insolvensi yang parah, akibat yang mesti ditanggung oleh buruh yang kehilangan pekerjaannya tidak kalah serius.

 

Resiko kehilangan pekerjaan karena pailitnya perusahaan, adalah resiko yang nyata ada di negeri ini. Perusahaan yang pada akhirnya dinyatakan pailit, biasanya merupakan perusahaan yang telah mengalami krisis finansial selama beberapa waktu lamanya. Sehingga, tak jarang pula perusahaan tersebut telah meninggalkan utang pembayaran upah buruh yang juga terkatung-katung lama. Ironisnya, alat remedi (pemulihan hak) yang dimiliki oleh buruh juga tidak banyak berarti. Hal ini disebabkan sifat alat remedi yang baru bisa digunakan belakangan.

 

Di awal tulisan ini telah dibahas beberapa kemungkinan yang bisa digunakan untuk melindungi posisi buruh dalam proses kepailitan, seperti uang pesangon dan hak untuk didahulukan pembayaran upahnya. Namun begitu, lagi-lagi, dua alat remedi tersebut tergantung pada keadaan harta pailit. Apabila kondisi insolvensi cukup parah, tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk menutup utang pembayaran upah buruh. Bahkan, harta pailit belum tentu cukup untuk membayar uang pesangon yang diwajibkan oleh undang-undang.

 

Untuk itu, jaminan atas pembayaran upah perlu diatur pula di dalam sistem jaminan sosial nasional yang sifatnya antisipatif. Dengan adanya perlindungan asuransi untuk kehilangan pekerjaan, maka buruh tetap akan mendapatkan hak atas upah, melalui santunan dari lembaga jaminan sosial, sekalipun harta pailit telah habis sama sekali.[24]

 

Meski begitu, dengan adanya perlindungan asuransi sekalipun, nilai santunan tetap saja akan terbatas (hanya meliputi nilai upah untuk jangka waktu tertentu). Sehingga, idealnya, begitu upah tidak dibayarkan, saat itu pula buruh harus segera menuntut haknya. Ketika perusahaan mengalami krisis finansial dan kondisi tersebut terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, maka semakin tak jelas pula nasib mereka yang bekerja di perusahaan tersebut.                  



[1]Baca penjelasan UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

[2]Pasal 95 ayat 4 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

[3]Pasal 165 UU No. 13/2003.

[4]Kondisi seperti ini telah beberapa kali terjadi. Salah satunya adalah kasus PT Sindoll Pratama. Harta pailit Sindoll Pratama bernilai Rp. 45,24 miliar. Namun PT Sindoll Pratama memiliki utang kepada Bank BNI sebesar Rp. 38,36 miliar. Sebagai kreditur separatis karena memegang Hak Tanggungan, BNI bertindak lebih dahulu mengeksekusi hak-haknya sehingga tak cukup lagi harta untuk membayarkan upah buruh.

[5]Lihat juga penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 37/2004: Yang dimaksud dengan "Kreditor" dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.

 

[6]Pasal 55 ayat (1) UU No. 37/2004: Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

 

[7]Pasal 138 jo. pasal 189 ayat 5 UU No. 37/2004.

[8]Pasal 59 ayat 1 UU No. 37/2004.

[9]Pasal 59 ayat 2 UU No. 37/2004.

[10]Pasal 191 UU No. 37/2004.

[11]Penjelasan pasal 60 ayat 2 UU No. 37/2004.

[12]Pasal 1134 KUH Perdata.

[13]Pasal 1134 KUH Perdata.

[14]Pasal 1149 ayat 1 KUH Perdata.

[15]Pasal 21 ayat 3 UU No. 16/2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

[16]Pasal 1136 KUH Perdata.

[17]Pasal 1149 KUH Perdata.

[18]Pasal 102 jo. 100 UU No. 37/2004.

[19]Pasal 103 UU No. 37/2004.

[20]Pasal 116 UU No. 37/2004.

[21]Pasal 127 UU No. 37/2004.

[22]Pasal 72 UU No. 37/2004.

[23]Pasal 127 UU No. 37/2004.

[24]Perlu diperhatikan dalam pengaturan mengenai jaminan sosial ini, yaitu mengenai pihak yang harus menangung beban premi. Jangan sampai pengaturan jaminan sosial ini semakin memberatkan kondisi buruh di Indonesia.

Tags: