Pembayaran Upah Buruh dalam Proses Kepailitan
Oleh: Imam Nasima dan Eryanto Nugroho

Pembayaran Upah Buruh dalam Proses Kepailitan

Idealnya, begitu upah tidak dibayarkan, saat itu pula buruh harus segera menuntut haknya. Ketika perusahaan mengalami krisis finansial dan kondisi tersebut terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, maka semakin tak jelas pula nasib mereka yang bekerja di perusahaan tersebut.

Bacaan 2 Menit

 

Sekilas, posisi tawar buruh dalam memperjuangkan pembayaran upahnya sudah cukup kuat, karena (1) tagihan pembayaran upah pekerja adalah tagihan yang diistimewakan, (2) telah ada pengakuan undang-undang bahwa pembayaran upah menjadi utang harta pailit dan (3) apabila terjadi perbedaan antara hitungan pekerja dan daftar yang dikeluarkan oleh kurator, ada peran instansi pengadilan yang akan menengahi permasalahan tersebut. Artinya, posisi preferen (didahulukan) yang dimiliki oleh buruh tidak dapat begitu saja didahului. Meski begitu, ada beberapa kondisi di mana buruh tidak mendapatkan hak atas pembayaran upahnya.

 

Kondisi pertama; ketika terjadi insolvensi parah. Artinya, tidak ada lagi biaya yang dapat dibayarkan dari harta pailit atau harta pailit hanya cukup untuk membayar biaya-biaya perkara dan tagihan pajak. Dalam kondisi tersebut, mau tidak mau, pekerja tidak akan mendapatkan apa-apa.

 

Kondisi ke dua; ketika harta pailit hanya berupa benda-benda yang dijaminkan kepada kreditor separatis. Apabila nilai tagihan kreditor separatis melampaui nilai benda-benda yang dieksekusi, maka otomatis tidak ada lagi yang tersisa dari harta pailit. Namun, apabila nilai eksekusi dapat menutup piutang pemegang hak jaminan, maka sisanya masih dapat dibagi. Tentu saja, posisi buruh ada di bawah biaya-biaya perkara (termasuk upah kurator) dan tagihan pajak.

 

Selain ke dua kondisi tidak menguntungkan di atas, masih ada beberapa masalah teknis yang bukan tidak mungkin dapat merugikan posisi buruh, seperti kurang transparannya proses penentuan daftar urutan dalam pembagian harta pailit, serta kurang berfungsinya kurator dan hakim pengawas. Belum lagi, pihak-pihak yang berkepentingan belum tentu tahu tentang proses penyelesaian perselisihan terkait penentuan daftar pembagian harta pailit melalui pengadilan.

 

Bagaimanapun juga, belum ada alat hukum yang dapat menyelamatkan nasib pekerja, saat tagihan pembayaran upah tidak terpenuhi atau hanya terpenuhi sebagian kecilnya saja. Mengingat kondisi pekerja di Indonesia yang secara ekonomis sangat rentan dan nafkah hidupnya sangat bergantung pada pekerjaan yang dimilikinya, maka harus ada instrumen pendukung yang dapat menyelamatkan nasib mereka. Di bawah ini ada beberapa alternatif penyelesaian yang mungkin digunakan.

 

D. Hak Buruh vs. Hak Jaminan

Pilihan untuk menghapus sistem hak jaminan kebendaan berangkat dari premis bahwa dengan adanya eksekusi terpisah, maka tidak akan ada lagi harta pailit yang dapat digunakan untuk membayar upah atau setidaknya harta pailit akan banyak berkurang. Meski begitu, alternatif ini akan berakibat pada hukum jaminan secara keseluruhan.

 

Hak jaminan kebendaan lahir dari perikatan penjaminan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perikatan yang timbul akibat perjanjian utang piutang dengan jaminan. Karena ada hubungan tak terpisahkan (ketergantungan) antara dua perikatan tersebut, maka hak jaminan memiliki dua karakter, yaitu (1) didahulukan untuk pemenuhan perjanjian yang melekat pada penjaminan benda tersebut (droit de preference), serta (2) dengan adanya ketergantungan tersebut pula, maka hak atas jaminan akan selalu melekat pada (mengikuti) benda yang dijaminkan (droit de suite.) Sehingga, selama hubungan utang piutang belum diakhiri (utang dibayar), maka selama itu pula hak jaminan tetap ada.

Tags: