Pemahaman atas Legal Reasoning di Jalan Kesesatan
Kolom

Pemahaman atas Legal Reasoning di Jalan Kesesatan

Para sarjana hukum di Indonesia gagal melihat ada problem metodologis dalam legal reasoning menurut aliran-aliran hukum yang ada. Legal reasoning yang demikian kompleks disimplifikasi seolah-olah hanya bersifat logis.

Bacaan 5 Menit
Pemahaman atas Legal Reasoning di Jalan Kesesatan
Hukumonline

Sepanjang pengamatan saya, di berbagai pendidikan advokat, legal reasoning kerap kali diartikan sama dengan logika hukum. Logika yang dibicarakan pun berkisar penalaran yang deduktif atau induktif, termasuk silogisme. Jika demikian, apakah memang legal reasoning itu hanya bersifat logis?

Uniknya, karena reasoning dalam Bahasa Indonesia juga dimaknai dengan arti ‘penalaran’ maka legal reasoning pun dihubungkan dengan ‘pertimbangan baik dan buruk’. Jadi, penalaran ternyata bukan melulu logis tetapi juga berbau filosofis. Oleh sebab itu, tak mengherankan jika cukup banyak materi-materi pendidikan tinggi hukum yang menerangkan hubungan antara aliran-aliran (mazhab) hukum dengan legal reasoning. Bahkan, menghubungkan legal reasoning dengan tiga aspek dalam filsafat yaitu (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi.

Sekali lagi, jika demikian, apakah legal reasoning bersifat filosofis?

Baca juga:

Logiskah Legal Reasoning?

Memang sudah berabad lamanya legal reasoning dimaknai bersifat induktif dan deduktif. Randall Lesafer (European Legal History: A Cultural and Political Perspective, 2009) mengatakan legal reasoning pada masa Romawi Kuno dipengaruhi oleh Aristotelian logic. Setiap konsep dirumuskan dengan cara (1) mencari atribut-atribut serupa yang dimiliki oleh beberapa properti yang berbeda atau (2) menggambarkan atribut-atribut yang ada ke dalam kategori atau fenomena tertentu.

Masalahnya, dalam civil law tradition menurut George Mousourakis (Roman Law and the Origins of the Civil Law Tradition, 2015), legal reasoning pada umumnya hanya bersifat deduktif yaitu diambil dari sebuah norma atau asas umum. Bukan induktif. Penalarannya bersifat top-down. Ini karena reasoning dilakukan dalam rangka penemuan, bukan pembentukan hukum. Oleh karena itu, reasoning dalam tradisi tersebut tidak hanya melalui metode deduksi, tetapi juga bisa melalui analogi dan argumentasi a contrario.

Apa yang dikatakan Mousourakis tampaknya agak sukar ditolak karena di mata Ronald Dworkin (Law’s Empire, 1986) hukum adalah konsep interpretatif. Para ahli hukum Indonesia pada umumnya pun sepaham dengan itu karena—seperti dikatakan oleh Mousourakis—penalaran itu dalam rangka rechtsvinding. Rechtsvinding secara metodologis adalah melakukan interpretasi dan konstruksi hukum. Salah satu isi konstruksi hukum adalah analogi.

Uniknya, menerima analogi sebagai bagian dari legal reasoning dalam civil law tradition malah bertentangan dengan arus utama filsafat di Barat pada masa itu. Analogi—layaknya metafora—hanya menghasilkan keragaman makna. Akibatnya apa yang dihasilkan tidak dianggap ilmiah (I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, 1996). Oleh karena itu, analogi sukar diterima dalam doktrin (ilmu) hukum pidana karena memberikan makna yang beragam. Konsekuensinya akan memberikan penghukuman yang bisa semena-mena. Uniknya, analogi justru diterima dalam doktrin (ilmu) hukum perdata.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait