Pemahaman atas Legal Reasoning di Jalan Kesesatan
Kolom

Pemahaman atas Legal Reasoning di Jalan Kesesatan

Para sarjana hukum di Indonesia gagal melihat ada problem metodologis dalam legal reasoning menurut aliran-aliran hukum yang ada. Legal reasoning yang demikian kompleks disimplifikasi seolah-olah hanya bersifat logis.

Bacaan 5 Menit

Masalahnya, Mark van Hoecke (Objectivity in Law and Legal Reasoning, 2013) melihat ada kebutuhan akan kepastian dan objektivitas di dalam hukum. Itu sebabnya Llyod L. Weinreb (Legal Reason: The Use Analogy in Legal Argument, 2005) mengatakan bahwa analogi mesti dienyahkan karena berpotensi merusak rule of law. Akibatnya, legal reasoning hanya membutuhkan penalaran deduktif atau induktif. Sekalipun Hendrik Kaptein dan Bastiaan van der Velden (Analogy and Exemplary Reasoning in Legal Discourse, 2018) bersikukuh bahwa analogi adalah bagian dari reasoning, masalahnya menurut Weinreb adalah analogi memang tidak bertujuan mencari kepastian.

Di sini kita dapat melihat bahwa legal reasoning bukan melulu sebagai sesuatu yang logis. Ada faktor tradisi hukumnya. Grant Lamond (Precedent and Analogy in Legal Reasoning, 2010) mengatakan dengan terang bagaimana analogi amat berperan dalam common law tradition yang terikat pada ide precedent. Legal reasoning pun tergantung pula dalam lingkup doktrin (ilmu) hukum yang mana: dalam lingkup pidana atau perdata? Tak hanya itu, Jerzy Stelmach dan Bartosz Brożek (Methods of Legal Reasoning, 2006) menunjukkan bagaimana legalreasoning melibatkan empat metode: (1) logika, (2) analisis, (3) argumentasi, dan (4) hermeneutika. Metode hermeneutika mengaitkan reasoning dengan proses understanding. Proses understanding, sekali lagi, tidak melulu bersifat logis. Selain itu, legal reasoning bisa melibatkan juga faktor moral atau ideologi. Andrew Halpin (Reasoning with Law, 2001) mengamini ide Joseph Raz bahwa ada ragam reasoning yang tidak selalu deduktif. Hakim bisa juga melakukan yang Raz sebut sebagai ordinary evaluative reasoning. Maksudnya, reasoning bisa melibatkan faktor moral dan faktor evaluatif lainnya. Tambah lagi, legal reasoning bisa bersifat ideologis seperti yang dikatakan oleh Duncan Kennedy (Legal Reasoning: Collected Essays, 2008).

Filosofiskah Legal Reasoning?

Terlibatnya aspek hermeneutika, moral, dan ideologi dalam legal reasoning membuat saya kembali kepada pertanyaan di bagian awal tulisan ini: apakah legal reasoning adalah hal yang filosofis? Jerzy Stelmach dan Bartosz Brożek menunjukkan bagaimana aliran-aliran filosofis hukum terbagi ke dalam dua kubu besar: (1) yang menolak adanya otonomi secara metodologis dalam legal reasoning seperti analytic philosophy of law, American, dan Scandinavian realism ; (2) yang menerima adanya otonomi secara metodologis seperti—terutama—legal positivism. Stelmach dan Brożek seperti menerima ada aspek filosofis dalam legal reasoning. Namun, mereka lebih membawa aspek filosofis tersebut ke dalam konteks metodologis. Dengan kata lain, ini bukan filsafat an sich.

Yang menarik, ada banyak literatur tentang penalaran hukum karya para sarjana hukum di Indonesia mirip dengan upaya yang dilakukan oleh Stelmach dan Brożek. Namun, nyaris tidak satu pun yang mendudukkan aliran-aliran tersebut ke dalam konteks metodologis. Aliran-aliran tersebut seperti ditaruh saja dalam bingkai bernama legal reasoning. Padahal literatur-literatur itu umumnya menunjukkan bagaimana aspek metodologis dalam penalaran deduktif dan induktif, termasuk silogisme. Anehnya, mereka tidak melihat ada problem metodologis dalam legal reasoning menurut aliran-aliran hukum yang ada.

Jadi, menghubungkan legal reasoning dengan tiga bidang dalam filsafat—ontologi, epistemologi dan aksiologi—, bagi saya, adalah hal yang sangat mencengangkan! Ini karena menurut Bernard Arief Shidharta (Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000) (pengetahuan) hukum adalah sui generis yang telah berpisah dari induknya yaitu (pengetahuan) filsafat. Oleh karena itu, ada tiga pembidangan (pengetahuan) hukum yang berbeda dengan pembidangan dalam filsafat yakni: (1) ilmu hukum, (2) teori hukum, dan (3) filsafat hukum. Bagi saya, menghubungkan ketiga aspek filsafat ke dalam legal reasoning seperti hendak menyatakan ada tiga bidang pengetahuan filsafat mengenai legal reasoning alih-alih ada tiga bidang pengetahuan hukum mengenai legal reasoning.

Katakanlah kita melihat ada aspek ontologis dalam legal reasoning. Artinya kita hendak dibawa melihat masalah ada atau realitas di dalam legal reasoning. Realitas secara filosofis, dalam renungan Aristoteles misalnya, juga meliputi dunia metafisika (Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, 2014). Anehnya, menurut Shidarta (Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, 2013), dengan mengikuti pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, ontologi adalah mengenai lima butir pengertian. Dua di antaranya (1) norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara dan (2) putusan hakim in-concreto yang sistematis sebagai judge-made-law.

Inilah yang saya sebut sebagai mencengangkan karena pengertian-pengertian ontologis di atas seperti bertabrakan satu sama lain. Norma positif bukanlah mengenai ada atau realitas. Legal reasoning dalam konteks pengetahuan hukum tidak bisa dilihat demikian. Mengapa? Ini karena legal reasoning ditemukan dalam putusan.

Tags:

Berita Terkait