Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana belum lama ini mendorong penggunaan mekanisme peradilan umum bagi anggota TNI yang terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana selain pidana militer. Hal ini disampaikan Arif ke publik merespon kejadian pembunuhan dan mutilasi empat orang warga Mimika, Papua.
Menurut Arif, lewat mekanisme peradilan umum, diharapkan penanganan perkara ini bisa berjalan lebih transparan dan dapat dipantau oleh publik sehingga memastikan pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan bagi korban dan keluarganya. Selain itu hal ini dinilai sebagai jalan untuk mencegah terjadinya impunitas terhadap oknum TNI yang diduga terlibat.
Wahyono Indrajit dalam penelitiannya Prospek Peradilan Militer dalam Sistem Pidana Indonesia mengungkap pandangan sejumlah pakar tentang hal ini. Muladi mengemukakan bahwa pengadilan militer masih diperlukan, tetapi hanya terbatas pada perkara yang khas militer, di mana orang sipil tidak bisa melakukannya, seperti desersi dan insubordinasi. Tindak pidana lainnya seperti mencuri senjata, mencuri rahasia militer, berbuat zina, korupsi dan sebagainya, meskipun hal tersebut terjadi di dalam markas atau berkaitan langsung dengan tugas atau jabatan militer, tetap dibawa ke peradilan umum dan disidik oleh polisi, karena tindak pidana tersebut bukan khas militer.
Kemudian Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa tentara apabila melakukan tindakan yang menyangkut hukum kemiliteran, memang ada pengadilan khusus yang menyelesaikan, yaitu pengadilan militer, tetapi yang menjadi permasalahan di Indonesia adalah tentara yang melakukan delik biasa juga larinya ke pengadilan militer. Seharusnya pengadilan militer mengadili delik-delik yang ada kaitannya dengan kepentingan tentara, seperti pencurian senjata, pencurian data atau rahasia tentara dan sebagainya.