Pelibatan TNI Tangkal Aksi Terorisme Miliki Dasar Hukum yang Kuat
Berita

Pelibatan TNI Tangkal Aksi Terorisme Miliki Dasar Hukum yang Kuat

Koalisi beranggapan draf Perpres bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang berpotensi menggangu sistem peradilan pidana, mengancam HAM, demokrasi dan meminta pemerintah merevisi draf Perpres tersebut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Ketiga,berbatas ruang dan waktu. Artinya, dalam draft Perpres tersebut juga menegaskan batasan ruang dan waktu. Dia berpendapat meski terdapat kekhawatiran, namun penegasan adanya tim pengawas berlapis, draf Perpres layak dipertimbangkan. “Agar dapat menjadi landasan  operasional TNI terkait pencegahan dan pemberantasan terorisme di Indonesia,” katanya.

Revisi draf

Sejumlah tokoh masyarakat dan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menolak materi muatan draf Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Sebab, potensi mengganggu criminal justice system, mengancam HAM, dan demokrasi melalui sebuah petisi.

“Perpres tersebut berlebihan yang berpotensi mengganggu mekanisme criminal justice system, mengancam HAM, dan kehidupan demokrasi,” ujar salah satu anggota Koalisi, Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia Erwin Natosmal Oemar dalam keterangannya.

Menurut Erwin dalam petisi tersebut menyebutkan pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan Perpres sangat luas dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perpres). Sementara Perpres pun tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya”. “Dengan pasal ini, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia,” ujarnya.

Bagi Koalisi dan sejumlah tokoh masyarakat itu, kata Erwin, rancangan Perpres bertentangan dengan UU 34/2004. Sebab, dalam UU 34/2004 mengatur pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan sepanjang terdapat keputusan politik negara sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI.

Keputusan politik negara merupakapn keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR. Sementara dalam rancangan Perpres, pengerahan TNI mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI. Dengan begitu, secara hukum Perpres itu bakal bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yakni UU TNI. “Perpres telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR,” tudingnya.

Melalui petisinya, mendesak DPR agar meminta pemerintah memperbaiki draf rancangan Perpres secara lebih baik dan benar. Pasalnya secara substansi memiliki banyak permasalahan. Di sisi lain, kata Erwin, Presiden Jokowi perlu berhati-hati dalam menyusun draf Perpres tersebut. “Jika hal itu tidak dibuat dengan benar, peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia,” katanya.

Sementara Anang menilai kekhawatiran masyarakat terhadap pengaturan Perpres dapat diakomodir melalui mekanisme konsultasi yang sedang dilakukan pemerintah kepada DPR. Bagi Anang, adanya perangkat hukum  dalam bentuk Perpres terkait pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme sejatinya menjadi langkah hukum yang tepat untuk bersama-sama mengatur tugas TNI sesuai perkembangan kehidupan ketatanegaraan saat ini. “Dengan mengedepankan aspek legalitas, konstitusionalitas, demokratisasi, dan HAM,” katanya.

Tags:

Berita Terkait