Pelaku Usaha Keluhkan Kebijakan Safeguard Tekstil, Ini Alasannya!
Berita

Pelaku Usaha Keluhkan Kebijakan Safeguard Tekstil, Ini Alasannya!

Meski bermaksud melindungi industri tekstil ternyata safeguard ini justru membebankan sektor usaha hilirnya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Kebijakan ini juga memunculkan persoalan monopoli pasar oleh industri nasional. Kondisi ini juga dikhawatirkan memprovokasi industri hilir lainnya seperti garmen, sepatu mengajukan safeguard. “Apabila begitu banyak sektor yang dikenakan safeguard makan yang akan terjadi adalah produk akhir yang diterima masyarakat tidak lagi kompetitif. Artinya, masyarakat harus membayar lebih pada produk yang sama dengan adanya safeguard,” jelas Lany.

 

Dia mengusulkan agar aturan ini perlu dikaji kembali. Seharusnya, pemerintah fokus mendorong industri tekstil menjadi kompetitif bukan mengalihkan beban pada industri hilirnya.

 

Perlu diketahui, selain PMK 162/2019 yang dianggap membebankan industri alas kali, Menkeu juga menerbitkan dua aturan lain sehubungan safeguard tekstil yaitu PMK 161/2019 tentang Pengenaan BMTPS Terhadap Impor Produk Benang (Selain Benang Jahit) dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial. Peraturan diberlakukan terhadap produk yang diimpor mulai dari Rp1.405 per kilogram. Kemudian, PMK Nomor 163 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Tirai (termasuk Gorden), Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur dan Barang Perabot Lainnya. Produk tersebut diimpor sebesar Rp41.083 per kilogram.

 

Pemerintah juga menertibkan perusahaan tekstil ilegal dalam rangka menjamin good governance dan menjaga daya saing produk lokal, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) selalu melakukan pengawasan baik secara targeting maupun sewaktu-waktu. Menteri Keuangan (Menkeu) menegaskan bahwa pengawasan yang dilakukan bertujuan untuk memberikan signal bahwa perekonomian Indonesia terus dijaga. “Pada dasarnya kami juga ingin mendukung kegiatan ekonomi dengan kepatuhan yang baik, dengan efisiensi yang tinggi, sehingga daya saing ekonomi Indonesia juga meningkat,” tegas Menkeu pada Oktober lalu.

 

Dari hasil pengawasan tersebut, DJBC telah melakukan upaya penertiban terhadap Pusat Logistik Berikat (PLB) dan non-PLB, sebagai berikut:

  1. Pemblokiran terhadap 17 importir PLB (4 Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan 13 non-TPT) dan 92 importir non-PLB (TPT) dikarenakan tidak patuh menyampaikan SPT (SPT masa PPN dan SPT PPh tahunan);
  2. Pemblokiran terhadap 27 importir PLB (9 TPT, 2 besi baja, dan 16 lainnya) dan 186 importir non-PLB (TPT) dikarenakan pelanggaran eksistensi, responsibility, nature of business, auditability, atau tidak aktif;
  3. Pencabutan dan pembekuan izin PLB terhadap 8 PLB dan 5 importir PLB (TPT) dikarenakan pelanggaran eksistensi, responsibility, nature of business, auditability, atau tidak aktif;
  4. Pemblokiran terhadap 1 importir PLB API-P khusus TPT dikarenakan menjual bahan baku tanpa diproduksi terlebih dahulu;
  5. Pemblokiran terhadap 3 IKM fiktif di PLB; dan,
  6. Pemblokiran terhadap 2 importir PLB API-U dikarenakan barang tidak sampai di tujuan dan akan dilakukan investigasi lebih lanjut.

 

Dalam melakukan evaluasi, di berbagai kesempatan DJBC juga selalu berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, berbagai asosiasi antara lain Asosiasi Produsen Synthetic Fibre Indonesia (APSyFI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB), Perkumpulan Pusat Logistik Berikat Indonesia (PPKBI), Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI), dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), serta perusahaan yang bergerak di industri tekstil dan produk tekstil.

Tags:

Berita Terkait