Pelaku Usaha Keluhkan Kebijakan Safeguard Tekstil, Ini Alasannya!
Berita

Pelaku Usaha Keluhkan Kebijakan Safeguard Tekstil, Ini Alasannya!

Meski bermaksud melindungi industri tekstil ternyata safeguard ini justru membebankan sektor usaha hilirnya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengatur pengamanan perdagangan (safeguard) tekstil dan produk teksil dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 162 Tahun 2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara Terhadap Impor Produk Kain (BMTPS) pada November lalu. Aturan tersebut menjelaskan 107 pos tarif produk kain mulai sebesar Rp1.318 hingga Rp9.521 per meter.

 

Meski aturan tersebut diharapkan melindungi industri tekstil domestik, ternyata menimbulkan efek negatif bagi industri hilirnya seperti sektor alas kaki atau sepatu. Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia, Lany Sulaiman menjelaskan safeguard tekstil menyebabkan industri sepatu harus membayar biaya lebih mahal sekitar 40 persen untuk membeli bahan baku kain. Hal ini dianggap memberatkan pelaku usaha karena kain merupakan salah satu bahan baku industri sepatu.

 

“Sebagai penerima manfaat dari kebijakan safeguard, industri tekstil tetap tidak bisa kompetitif. Sejumlah kegagalannya dalam memenuhi kebutuhan industri alas kaki di antaranya adalah dalam menurunkan harganya dan minimum order yang juga masih ketinggian,” jelas Lany, Senin (23/12).

 

Dia juga menuturkan industri tekstil juga gagal memenuhi kebutuhan industri alas kaki maupun hilir lainnya. Saat ini, rata-rata industri tekstil hanya mampu memenuhi kebutuhan pada minimum order sebanyak 1.000 meter padahal kebutuhan industri sepatu hanya berkisar 200 meter. Kebutuhan tersebut diperlukan dalam rangka penjajakan pasar. Seandainya tahap tersebut mampu tercapai, maka industri alas kaki akan melakukan pemesanan kembali dalam jumlah besar.

 

Lany menyimpulkan meski bermaksud melindungi industri tekstil ternyata safeguard ini justru membebankan sektor usaha hilirnya. Terlebih lagi, perusahaan-perusahaan sepatu sudah meneken kontrak kerja sama dengan pemasok bahan baku dan pembeli. Hal ini dianggap mengganggu dunia usaha.

 

“Sayangnya, kebijakan ini membuat industri alas kaki kian tertekan. Dengan aturan turunan ini maka secara sadar pemerintah mengalihkan beban dari hulu ke hilir. Seolah secara tidak langsung industri hilir mensubsidi industri hulu yang sedang sakit,” jelas Lany.

 

Baca:

 

Kebijakan ini juga memunculkan persoalan monopoli pasar oleh industri nasional. Kondisi ini juga dikhawatirkan memprovokasi industri hilir lainnya seperti garmen, sepatu mengajukan safeguard. “Apabila begitu banyak sektor yang dikenakan safeguard makan yang akan terjadi adalah produk akhir yang diterima masyarakat tidak lagi kompetitif. Artinya, masyarakat harus membayar lebih pada produk yang sama dengan adanya safeguard,” jelas Lany.

 

Dia mengusulkan agar aturan ini perlu dikaji kembali. Seharusnya, pemerintah fokus mendorong industri tekstil menjadi kompetitif bukan mengalihkan beban pada industri hilirnya.

 

Perlu diketahui, selain PMK 162/2019 yang dianggap membebankan industri alas kali, Menkeu juga menerbitkan dua aturan lain sehubungan safeguard tekstil yaitu PMK 161/2019 tentang Pengenaan BMTPS Terhadap Impor Produk Benang (Selain Benang Jahit) dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial. Peraturan diberlakukan terhadap produk yang diimpor mulai dari Rp1.405 per kilogram. Kemudian, PMK Nomor 163 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Tirai (termasuk Gorden), Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur dan Barang Perabot Lainnya. Produk tersebut diimpor sebesar Rp41.083 per kilogram.

 

Pemerintah juga menertibkan perusahaan tekstil ilegal dalam rangka menjamin good governance dan menjaga daya saing produk lokal, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) selalu melakukan pengawasan baik secara targeting maupun sewaktu-waktu. Menteri Keuangan (Menkeu) menegaskan bahwa pengawasan yang dilakukan bertujuan untuk memberikan signal bahwa perekonomian Indonesia terus dijaga. “Pada dasarnya kami juga ingin mendukung kegiatan ekonomi dengan kepatuhan yang baik, dengan efisiensi yang tinggi, sehingga daya saing ekonomi Indonesia juga meningkat,” tegas Menkeu pada Oktober lalu.

 

Dari hasil pengawasan tersebut, DJBC telah melakukan upaya penertiban terhadap Pusat Logistik Berikat (PLB) dan non-PLB, sebagai berikut:

  1. Pemblokiran terhadap 17 importir PLB (4 Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan 13 non-TPT) dan 92 importir non-PLB (TPT) dikarenakan tidak patuh menyampaikan SPT (SPT masa PPN dan SPT PPh tahunan);
  2. Pemblokiran terhadap 27 importir PLB (9 TPT, 2 besi baja, dan 16 lainnya) dan 186 importir non-PLB (TPT) dikarenakan pelanggaran eksistensi, responsibility, nature of business, auditability, atau tidak aktif;
  3. Pencabutan dan pembekuan izin PLB terhadap 8 PLB dan 5 importir PLB (TPT) dikarenakan pelanggaran eksistensi, responsibility, nature of business, auditability, atau tidak aktif;
  4. Pemblokiran terhadap 1 importir PLB API-P khusus TPT dikarenakan menjual bahan baku tanpa diproduksi terlebih dahulu;
  5. Pemblokiran terhadap 3 IKM fiktif di PLB; dan,
  6. Pemblokiran terhadap 2 importir PLB API-U dikarenakan barang tidak sampai di tujuan dan akan dilakukan investigasi lebih lanjut.

 

Dalam melakukan evaluasi, di berbagai kesempatan DJBC juga selalu berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, berbagai asosiasi antara lain Asosiasi Produsen Synthetic Fibre Indonesia (APSyFI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB), Perkumpulan Pusat Logistik Berikat Indonesia (PPKBI), Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI), dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), serta perusahaan yang bergerak di industri tekstil dan produk tekstil.

Tags:

Berita Terkait