Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Perjanjian yang Sah Dapat Dibatalkan Sepihak
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Perjanjian yang Sah Dapat Dibatalkan Sepihak

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang menyatakan asas perjanjian yang sah pada asasnya tidak bisa ditarik secara sepihak.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Kalau pada asasnya perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang, maka mestinya Hakim pun terikat pada apa yang telah disepakati para pihak, dalam arti, dalam memberikan keputusan, ia terikat kepada apa yang para pihak, dalam hubungannya satu sama lain, telah atur sendiri dalam perjanjian.[3]

 

Bukankah orang tidak boleh main Hakim sendiri, sehingga pelaksanaan suatu perjanjian, kalau tidak dipenuhi secara suka rela, harus minta bantuan Hakim? Bukankah dalam peristiwa demikian, Hakim harus membantu penggugat untuk mendapatkan apa yang dalam perjanjian telah diperjanjikan menjadi haknya? Bukankah Hakim harus membantu mewujudkan asas, bahwa apa yang telah disepakati mengikat para pihak?

 

Sekalipun demikian Hakim perlu juga memperhatikan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) B.W., yang mengatur “akibat perjanjian”. Pasal 1338 ayat (3) B.W. mengatur tentang pelaksanaan perjanjian, dengan menentukan, bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

 

Dari kata “harus dilaksanakan” kita menyimpulkan, bahwa Pasal 1338 ayat (3) B.W. -berlainan dengan pasal-pasal dalam Bagian Kedua Bab II Buku III, yang mengatur tentang lahirnya perjanjian- mengatur pelaksanaan suatu perjanjian yang telah dibuat. Jadi mengatur pelaksanaan perjanjian yang telah dibuat secara sah (Pasal 1338 ayat (1) B.W.). Perjanjian seperti itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.

 

Kalau Pasal 1338 ayat (1) dibaca dalam satu rangkaian dengan Pasal 1338 ayat (3) B.W., maka kedua ketentuan itu berbunyi: Perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya seperti undang-undang, namun dalam pelaksanaannya perjanjian itu harus memenuhi tuntutan itikad baik.

 

Apa yang dimaksud dengan itu? Kata “itikad baik” -menurut para sarjana- mengingatkan orang akan perjanjian dalam Hukum Romawi, yang membedakan antara perjanjian bonae fidei dan perjanjian stricti juris, di mana pada perjanjian bonae fidei Hakim, atas dasar itikad baik, boleh mengubah apa yang tegas-tegas disepakati dalam perjanjian, sedang pada perjanjian stricti juris kewenangan seperti itu tidak ada. Terhadap perjanjian bonea fidei Hakim mempunyai kewajiban untuk memberikan keputusan berdasarkan kepatutan dan itikad baik.[4]

 

Kalau Pasal 1338 ayat (3) B.W. mengatakan, bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”, maka ada dasar bagi kita untuk mengatakan, bahwa B.W. menganut asas: semua perjanjian adalah perjanjian bonae fidei,[5] paling tidak mengatakan, bahwa B.W. tidak mengenal perjanjian stricti juris

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait