Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pendapat Pengadilan dalam Perkembangannya
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pendapat Pengadilan dalam Perkembangannya

Tulisan ini kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang membahas bahwa pengadilan berhak mengubah apa yang disepakati para pihak dalam perjanjian sekaligus artkel terakhir dari serial “Pelaksanaan Suatu Perjanjian” yang ditulis J. Satrio.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Debitur tidak terikat pada apa yang oleh kreditur hanya bisa dituntut dengan bertentangan dengan iktikad baik.

 

Dengan itu berarti, bahwa Hakim atas dasar Pasal 1338 ayat (3) BW bisa, atas dasar keadaan yang yang timbul kemudian mengubah, memperluas atau menghapus kewajiban yang secara tegas ditetapkan dalam perjanjian. Kalau dihubungkan dengan Pasal 1338 ayat (1) BW, maka bisa kita katakan, bahwa:

 

Semua perjanjian mengikat untuk apa yang, berdasarkan apa yang telah disepakati, dituntut oleh iktikad baik.[2]

 

Menurut Meijers, HR telah beberapa kali menggunakan alasan itikad baik untuk membawa -apa yang telah disepakati oleh para pihak- ke dalam batas-batas iktikad baik. Dalam masalah pertentangan antara Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (3) BW, Pasal 1342 BW tidak bisa menjadi hambatan, karena ketentuan itu adalah ketentuan mengenai penafsiran, sedang Pasal 1338 ayat (3) BW mempunyai daya kerja memperluas atau membatasi atas apa yang telah disepakati oleh para pihak, berdasarkan suatu ketentuan hukum objektif yang berdiri sendiri, dan karenanya tidak ada urusannya dengan penafsiran.

 

Perhatikan kata-kata “yang berdiri sendiri”. Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) BW baru dilanggar, kalau suatu perjanjian yang dibuat secara sah, secara umum dinyatakan tidak mengikat, tetapi asas itu tidak dilanggar, kalau atas dasar keadaan yang khusus, Hakim tidak melaksanakan seperti yang telah disepakati. Perhatikan kata-kata “secara umum”. Memang semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang, namun segera sesudah itu undang-undang mengatakan: perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik.[3] Catatan: Pasal 1374 ayat (3) BW Belanda adalah sama dengan Pasal 1338 ayat (3) BW Indonesia.

 

Dari keputusan perkara kuda pejantan,[4] Pitlo menafsirkan, bahwa memenuhi tuntutan itikad baik pada pelaksanaan perjanjian tidak lain adalah: Menafsirkan perjanjian sesuai dengan tuntutan kepantasan dan kepatutan.

 

Jadi Hakim harus memutuskan, apakah dalam perkara yang dimajukan kepadanya, kepantasan dan kepatutan menuntut, agar perjanjian ditafsirkan menyimpang dari kata-katanya.

Tags:

Berita Terkait