Pejuang yang Kerap Dikecewakan (Penegak) Hukum
Edisi Akhir Tahun 2011:

Pejuang yang Kerap Dikecewakan (Penegak) Hukum

Perjuangannya bersama Serikat Pegawai Bank Mandiri harus kandas berkali-kali di pengadilan, namun dia tak mau menyerah.

CR-12
Bacaan 2 Menit
Pejuang yang kerap dikecewakan (penegak) hukum. Foto: SGP
Pejuang yang kerap dikecewakan (penegak) hukum. Foto: SGP

“…Dunia belum kiamat, saya yakin Tuhan memberikan cobaan hanya sebatas kemapuan hamba-Nya, insya Alloh saya dapat melaluinya dengan kepala tegak dan kami akan tetap fight melawan kedzaliman…”

 

Demikian penggalan surat elektronik (e-mail) yang dikirimkan Mirisnu Viddiana di sebuah milis pada pertengahan 2008 lalu. Mantan pegawai Bank Mandiri itu meluapkan perasaannya setelah majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta mengabulkan gugatan manajemen untuk memecat perempuan yang saat itu menjabat Ketua Umum Serikat Pegawai Bank Mandiri (SPBM) itu. Seperti ditulis di dalam email itu, Mirisnu Viddiana berjanji akan terus berjuang.

 

Julukan Kota Pahlawan yang dimiliki Surabaya tampaknya benar-benar mengilhami Mirisnu Viddiana untuk menjadi pejuang. Meski lahir di Kudus, Jawa Tengah, anak keempat dari sepuluh bersaudara ini tumbuh besar di kota terpadat kedua di Indonesia itu. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Institut 10 November Surabaya (ITS), Viddi hijrah ke Jakarta mengadu nasib untuk membantu orang tua membiayai adik-adiknya bersekolah.

 

Setelah lolos perekrutan pegawai Bank Bumi Daya, Viddi ditempatkan pada divisi pengelolaan dana valuta asing dan bekerja sejak 26 April 1988. Lebih kurang sepuluh tahun kemudian, Viddi mulai aktif berserikat di Serikat Pekerja Bank Bumi Daya (SPBBD).

 

Akibat krisis moneter 1997 yang menghantam dunia perbankan Indonesia, Bank Bumi Daya dan sejumlah bank lain dilebur menjadi Bank Mandiri. Merespon perubahan tersebut, SPBBD bertransformasi menjadi SP Bank mandiri (SPBM) pada 10 November 2000. “Kita bentuk SPBM pada 10 November karena berharap semangat pahlawan,” tutur Viddi kepada hukumonline di Jakarta, (16/12).

 

Sepak terjang Viddi dalam berserikat memuncak ketika terpilih menjadi Ketua Umum SPBM pada tahun 2004. Direktur Utama Bank Mandiri kala itu, ECW Neloe, menurut Viddi cukup menyambut baik kegiatan berserikat. Sebagai wakil dari pekerja, Viddi seringkali dimintai saran oleh Neloe. Bahkan Viddi ingat Neloe pernah menunda rapat sampai Viddi ikut serta. “Neloe juga tak segan membantu kegiatan SPBM,” lanjutnya.

 

Namun hubungan harmonis antara pekerja dan manajemen harus pupus ketika pucuk pimpinan manajemen itu berganti di tahun 2005. Agus Martowardojo yang sebelumnya sempat menjabat sebagai pimpinan Human Capital Bank Mandiri menggantikan posisi Neloe sejak Juni 2005.

 

Gejolak dimulai ketika awal tahun 2006, Dirut menerbitkan Program Kesepakatan Pensiun Dini (PKPD). Akibatnya terjadi PHK terhadap lebih dari 700 pekerja. Peraturan demi peraturan yang dikeluarkan oleh Dirut yang baru ini menurut Viddi membuat runyam kondisi Bank Mandiri, khususnya terhadap pekerja.

 

Selain itu Dirut yang baru ini juga dirasa tidak kooperatif dalam membantu kegiatan SPBM. Bahkan Viddi menyebutkan bahwa Dirut sempat menghina pekerja yang tingkat jabatannya menengah ke bawah.

 

Menanggapi kondisi itu Viddi mendapat tekanan dari anggota SPBM untuk menggelar mogok kerja. Namun Viddi khawatir jika aksi mogok terjadi akan mengguncang perekonomian Indonesia, pasalnya Bank Mandiri termasuk salah satu lembaga perbankan utama.

 

Dari hasil diskusi internal SPBM dihasilkan kesepakatan untuk mengadakan kegiatan ‘Mandiri Berdoa’ pada hari Jumat 20 Desember 2006 usai jam kerja. Namun satu hari sebelum kegiatan itu dimulai, Dirut melarang. SPBM tak menggubrisnya dan tetap menggelar aksi doa bersama. Keesokan harinya Viddi dipanggil direksi untuk dimintai keterangan mengenai kegiatan itu. Agus Martowardojo –yang saat ini menjadi Menteri Keuangan- kala itu marah kepada Viddi.

 

Pasca aksi tersebut, SPBM melihat tidak ada perubahan signifikan di Bank Mandiri. Maka di awal tahun 2007 SPBM sepakat untuk menggunakan pakaian serba hitam pada hari jumat. Ini dilakukan sebagai pertanda bahwa pekerja sedang berkabung atas tindakan manajemen.

 

Aksi ini kembali menuai kecaman dari manajemen. Seluruh pekerja yang memakai pakaian serba hitam di hari itu diperintahkan untuk pulang ke rumah. Lagi-lagi Viddi melakukan perlawanan atas arogansi manajemen itu. Menurutnya tidak ada aturan perusahaan yang melarang pekerja untuk berpakaian serba hitam di hari jumat.

 

Sejak itu, tekanan untuk melakukan aksi mogok kerja dari anggota semakin kencang. Akhirnya SPBM memutuskan menggelar aksi demonstrasi pada hari libur kerja di bulan  Agustus 2007. Ribuan anggota SPBM dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta untuk meramaikan aksi. Salah satu yang mereka tuntut adalah perbaikan kesejahteraan.

 

Aksi itu membuat pihak manajemen marah besar, Viddi dituding sebagai aktor yang paling bertanggung jawab. Ratusan pekerja yang diduga ikut serta dalam kegiatan itu dipanggil pihak manajemen. Skorsing menuju PHK dijatuhkan, termasuk kepada Viddi.

 

Selain itu, lanjut Viddi, pihak manajemen mencari cara agar ia dilengserkan dari posisinya. Yaitu dengan memfasilitasi penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) SPBM pada Oktober 2007. Dalam Munaslub itu Viddi dicopot dan digantikan oleh Cahyono Syam Sasongko. Belakangan Cahyono mengakui pengangkatan dirinya sebagai Ketua SPBM adalah tidak sah karena dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan hukum.

 

Jalur Hukum

Viddi merasa permasalahan yang ada harus dibawa ke meja hijau. Ketika itu dia melihat upaya hukum dapat dilakukan untuk mencari keadilan. Viddi menghadapi gugatan PHK yang diajukan pihak manajemen ke PHI Jakarta dan majelis hakim memutus PHK. Ironisnya, hakim menyatakan aksi demonstrasi yang digelar SPBM bukanlah saluran yang sah untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan.

 

Tak terima putusan itu Viddi melanjutkan upaya kasasi ke MA, namun putusannya tak berubah. Pada 30 Desember 2009 ia melanjutkan perkara ini dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) yang sampai sekarang belum ada putusan. Viddi mengaku kesal atas lamanya proses pemberkasan di PHI Jakarta sehingga membuat penyelesaiannya berlarut-larut.

 

Hampir bersamaan dengan persidangan perkara di PHI Jakarta, Viddi memotori gugatan class action ke PN Jakarta Selatan pada Juli 2008 dalam perkara penjatuhan sanksi oleh pihak manajemen kepada ratusan pekerja yang ikut aksi demonstrasi. Salah satu pihak yang menjadi tergugat adalah Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo. Namun Oktober 2008 PN Jaksel memutus tidak berwenang untuk melanjutkan perkara ini sebab masuk dalam ranah PHI Jakarta. Tak menyerah, Viddi mengajukan banding tapi sampai sekarang belum keluar putusannya.

 

Terkait dengan perselisihan kepemimpinan SPBM juga Viddi persoalkan dengan mengajukan gugatan ke PN Jaksel. Viddi menggugat Dewan Pengawas SPBM dan Cahyono Sasongko. Dalam persidangan sejumlah bukti mengarah pada adanya perbuatan melawan hukum dalam Munaslub yang diselenggarakan di Bali itu. Cahyono pun mengaku bahwa dia dipaksa untuk menjadi Ketua Umum. Tapi apa lacur, majelis memutus adanya kondisi force major sehingga Cahyono layak menjadi Ketua Umum. Lagi-lagi Viddi dibuat kesal oleh putusan majelis hakim, maka ia mengajukan banding. Tapi sampai sekarang perkara ini belum tuntas.

 

Selain mengajukan upaya hukum lewat pengadilan, Viddi mengaku telah berkali-kali meminta bantuan kepada instansi terkait. Mulai dari Komnas HAM, DPR, Komisi Yudisial bahkan menyurati presiden, namun tetap saja hasilnya nihil. Walau gigih dalam memperjuangkan hak-hak pekerja, Viddi mengaku setengah putus asa melihat dan merasakan penegakkan hukum di Indonesia. Baginya, hukum di Indonesia saat ini tidak mampu membela kaum yang lemah dan tertindas.

 

“Negeri ini katanya negeri hukum, katanya! Tidak ada yang kebal hukum, katanya! Yah buktinya? Kapan hukum ini mau tegak? Antara percaya tapi nggak percaya (dengan hukum),” keluhnya.

 

Walau di PHK, Viddi mengaku akan memperjuangkan terus nasib pekerja bank Mandiri khususnya SPBM. Tak ada kata lelah baginya untuk membuka mata pihak manajemen atas apa yang telah dilakukannya terhadap pekerja. Viddi berharap agar pihak manajemen tidak sewenang-wenang. Sampai saat ini ia masih berperan aktif membantu pekerja bank Mandiri dalam berserikat, PHK tidak memudarkan perjuangannya. Selain itu sekarang Viddi juga aktif bersolidaritas dengan serikat pekerja lainnya seperti di Konfederasi Serikat Nasional.

 

Semangat perjuangan Viddi dalam memimpin SPBM diakui oleh pekerja bank Mandiri, salah satunya adalah Rodjai S Irawan. Mantan anggota SPBM wilayah Bandung ini mengakui komitmen Viddi ketika berjuang. Baginya Viddi tak tergiur oleh bujuk rayu pihak manajemen yang menawarkan jabatan strategis dan rela berkorban. Menurutnya, tidak sedikit pekerja yang aktif berserikat hanya berorientasi pada kenaikan jabatan.

 

“Dia tegas dan berani dalam memperjuangkan itu karena yakin yang diperjuangkan itu benar. Saya salut sekali, dia gigih dan sampai sekarang itu dia tetap memperjuangkan,” tegas hakim Tipikor Palembang ini kepada hukumonline lewat telepon, Jumat (23/12).

 

Viddi menyebutkan masih memiliki 'peluru' lain untuk memperjuangkan nasibnya dan pekerja bank Mandiri. Biarpun ada rasa kurang percaya dengan penegakkan hukum di Indonesia dia bersikukuh tetap menggunakan upaya hukum sebagai senjatanya. Sampai akhir hayat dia mengaku akan terus berjuang dan tak akan menyerah.

 

“Aku arek Suroboyo, bonek,” pungkasnya berseloroh.

Tags: