Payung Hukum Semu Ojek Online
Kolom

Payung Hukum Semu Ojek Online

Kementerian Perhubungan tetap harus menyiapkan argumentasi yang kuat untuk mengantisipasi munculnya gugatan uji materiil terhadap Permenhub 12/2019 dan Kepmenhub 384/2019 oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Bacaan 2 Menit

 

Saat itu, Kementerian Perhubungan menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi dengan menyerahkan pengaturan teknis mengenai ojek online kepada masing-masing Kepala Daerah. Maka kemudian muncul produk-produk hukum daerah terkait ojek online yang tidak seragam karena kepala daerah tidak diberikan panduan oleh Pemerintah Pusat.

 

Situasi menjadi semakin kisruh mengingat fakta bahwa cakupan operasional ojek online tak berbatas antara satu kota dengan kota lainnya. Pemerintah Provinsi Jawa Timur bahkan menolak untuk membuat peraturan daerah mengingat UU LLAJ dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hanya membatasai kewenangan Pemerintah Daerah sampai dengan penyediaan angkutan umum saja, sedangkan ojek online tidak jelas masuk kategori angkutan umum atau bukan.

 

Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait peraturan baru yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan, pertama, dalam bagian mengingat Permenhub 12/2019 dicantumkan UU LLAJ. Dengan dimuatnya UU LLAJ sebagai pertimbangan, wajar apabila apabila pembaca peraturan memaknai Permenhub 12/2019 sebagai payung hukum pengesahan sepeda motor sebagai jenis kendaraan umum yang baru.

 

Namun, ketika melihat lebih dalam, sepertinya bukan begitu maksud Pemerintah. Nampak sekali dalam Permenhub 12/2019 perumus peraturan berusaha menghindari penggunaan istilah ‘kendaraan bermotor umum’, ‘angkutan umum’ atau ‘angkutan orang’. Misalnya, pada Pasal 2, menyebutkan bahwa peraturan Menteri dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dengan aplikasi berbasis teknologi informasi dan tanpa aplikasi. Apa yang dimaksud dengan kalimat “untuk kepentingan masyarakat”? Tidak ada definisi dalam peraturan yang menerangkan hal tersebut.

 

Kemudian, Pasal 9 menjelaskan bahwa sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat memiliki ciri pelayanan, antara lain, wilayah operasi yang telah ditentukan, pelayanan dari pintu ke pintu, tujuan perjalanan ditentukan oleh penumpang, dan biaya jasa tercantum pada aplikasi. Ciri-ciri tersebut hampir serupa dengan ciri-ciri kendaraan umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 UU LLAJ. Unsur adanya biaya jasa juga sama dengan unsur adanya pemungutan bayaran sebagaimana Pasal 1 UU LLAJ mendefinisikan mengenai kendaraan bermotor umum.

 

Alih-alih memberikan kejelasan mengenai status hukum ojek online, Permenhub 12/2019 justru membuat bingung karena memberikan sifat-sifat kendaraan umum kepada kendaraan bermotor yang digunakan untuk perseorangan.

 

Kedua, Permenhub 12/2019 dan Kepmenhub 384/2019, tidak memberikan ruang bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur lebih lanjut mengenai operasional ojek online. Pasal 19 Permenhub 12/2019 hanya menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat. Maksud pasal ini tidak jelas. Dengan hanya melakukan pengawasan apakah artinya Pemerintah Daerah tidak berwenang untuk menentukan kuota ojek online maupun tarif di daerahnya.

Tags:

Berita Terkait