Pasca Putusan MK, OJK Minta Klausul Perjanjian Pembiayaan Diperbaiki
Utama

Pasca Putusan MK, OJK Minta Klausul Perjanjian Pembiayaan Diperbaiki

Klausul-klausul tersebut perlu dibuat secara detail dari awal agar tidak menjadi sengketa antara kreditur dengan debitur di kemudian hari.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Juru Bicara MK yang juga Hakim Konstiusi Enny Nurbaningsih menerangkan implementasi Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia terkait eksekusi jaminan fidusia ini praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan kreditur ketika menagih, menarik objek jaminan fidusia (benda bergerak) dengan dalih debitur cidera janji.

Persoalannya, kata Enny, kapan waktu terjadinya cidera janji tersebut tidak ada penjelasan dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia itu, apakah saat masih berlangsung angsuran atau jatuh tempo, atau pada saat kapan? Menurutnya, bagi MK cidera janji ini harus ada kejelasan kapan waktu terjadinya.

“Dalam pertimbangan putusan MK itu sudah jelas, bahwa (klausul, red) cidera janji harus dibuat (disepakati, red) para pihak. Kalau para pihak tidak ada kesepakatan, maka pelaksanaan eksekusi melalui putusan pengadilan sesuai HIR dan RBg,” ujar Enny Nurbaningsih saat dihubungi Hukumonline, Kamis (16/1) lalu.

Dengan demikian, persoalan cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia tidak langsung diselesaikan melalui pengadilan. Namun, harus didahului kesepakatan para pihak untuk menentukan kapan terjadinya tuduhan cidera janji tersebut. Jika sudah ada kesepakatan para pihak, kreditur dapat langsung mengeksekusi. “Sebenarnya tujuan putusan ini untuk melindungi kepentingan para pihak baik debitur maupun kreditur,” kata Enny.

Menurutnya, praktik tindakan perampasan objek jaminan fidusia - seperti kendaraan bermotor sebagai wujud penerapan Pasal 15 UU Jaminan Fidusia - oleh debt collector sebagai perbuatan melawan hukum. “Tindakan perampasan itu tidak diperbolehkan. Jadi, dasar penarikan objek jaminan fidusia harus ada cidera janji, tapi cidera janji itu juga harus ada kesepakatan para pihak, tidak bisa sepihak untuk menghindari kesewenangan,” terangnya.

“Misalnya, jika para pihak sudah sepakat kapan terjadinya cidera janji, lalu salah satu pihak cidera janji yang sudah disepakati bersama, itu tetap saja debt collector tidak boleh langsung menarik (objek, red) barang yang diperjanjikan, harus melalui kesepakatan mereka dulu," katanya.

Tags:

Berita Terkait