Pasca Putusan MK, OJK Minta Klausul Perjanjian Pembiayaan Diperbaiki
Utama

Pasca Putusan MK, OJK Minta Klausul Perjanjian Pembiayaan Diperbaiki

Klausul-klausul tersebut perlu dibuat secara detail dari awal agar tidak menjadi sengketa antara kreditur dengan debitur di kemudian hari.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 2B OJK, Bambang W Budiawan (kiri). Foto: MJR
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 2B OJK, Bambang W Budiawan (kiri). Foto: MJR

Prosedur eksekusi atau penyitaan objek jaminan fidusia menjadi topik pembahasan yang ramai diperbincangkan, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 Ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada Januari lalu.

Dengan putusan tersebut, terdapat pihak-pihak yang menafsirkan bahwa eksekusi objek jaminan fidusia oleh kreditur atau perusahaan pembiayaan harus melalui putusan pengadilan. Sehingga, hal ini dipahami menghilangkan kewenangan eksekusi kreditur.

Penafsiran tersebut tentunya bertolak-belakang dengan kondisi sebelum putusan MK. Khususnya pada perjanjian fidusia konsumtif otomotif seperti sepeda motor dan mobil, kreditur dapat menarik secara langsung atau menggunakan pihak ketiga (collector) objek tersebut apabila debitur cidera janji seperti yang tercantum dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia. 

Kondisi ini tentunya dianggap memberatkan kreditur. Pasalnya, eksekusi objek yang harus menunggu putusan pengadilan membutuhkan waktu lama sehingga dapat memengaruhi kinerja keuangan perusahaan karena meningkatkan rasio pembiayaan bermasalah. Selain itu, kondisi ini juga memengaruhi kepercayaan perbankan sebagai sumber pendanaan perusahaan-perusahaan pembiayaan.

(Baca: Putusan MK Momentum Benahi Tata Kelola Sektor Leasing)

Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 2B OJK, Bambang W Budiawan, menjelaskan pemahaman yang menyatakan eksekusi objek jaminan fidusia harus melalui putusan pengadilan tersebut dianggap tidak tepat. Menurutnya, kreditur dapat mengeksekusi objek jaminan fidusia tersebut tanpa pengadilan asalkan klausul-klausul dalam perjanjian fidusia termuat secara detil, khususnya dalam penetapan kondisi cidera janji.

“Terdapat miss persepsi putusan MK. Putusan itu tidak menghapus hak eksekusi kreditur terhadap barang-barang fidusia dalam hal ini barang bergerak seperti mobil dan motor,” jelas Bambang saat dijumpai di Gedung OJK, Rabu (11/3).

Menurut Bambang, sengketa antara kreditur dan debitur selama ini terjadi karena tidak ada klausul perjanjian yang transparan sejak awal. Selain itu, debitur juga sering tidak membaca perjanjian secara detil sehingga saat terjadi permasalahan selama perjanjian fidusia berjalan debitur tersebut menolak dieksekusi objek fidusianya.

“Sehingga, beberapa kesempatan saya sampaikan harus diperbaiki perjanjian pinjamannya di depan. Namanya perjanjian itu diketahui dua belah pihak jangan sampai tidak transparan. Dan nasabahnya suka tidak membaca perjanjiannya. Jangan kan baca begitu lihat mobil (objek fidusia) saja tidak sabaran. Ini memang perlu edukasi panjang,” jelas Bambang.

Kemudian, dia juga mengimbau agar kreditur perlu memperbaiki klausul-klausul perjanjian sejak awal dengan nasabah. Klausul tersebut perlu dibuat secara detail agar tidak menjadi sengketa dengan debitur.

“Pembuktian frase wanprestasai dilakukan di depan. Perjanjian baku diperbaiki bahwa dia mengakui saat keadaan A, B, C dan D. Misalnya, terlambat membayar selama 30 hari itu termasuk kategori wanprestasi. Ini harus dilakukan di depan jangan di belakang agar hak eksekusinya tetap bisa (ada),”jelas Bambang.

Terjadinya pemahaman yang keliru ini dikhawatirkan Bambang dapat menurunkan kinerja industri pembiayaan. Menurutnya, bukan hanya perusahaan pembiayaan saja yang menjalankan transaksi tersebut melainkan bank umum, BPR hingga pegadaian juga melakukan transaksi serupa.

“Kalau dipahaminya terlalu letterlijk, hitam putih, akan memengaruhi (industri jasa keuangan). Yang menggunakan fidusia ini tidak hanya multifinance, ada 110 bank yang menggunakan fidusia karena bank juga ada yang pinjamin uang untuk pinjamin beli motor dan mobil, bank umum dan ada 1700 BPR,” tambahnya.

Dalam artikel hukumonline sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial. Artinya, jika debitur (konsumen) cidera/ingkar janji (wanprestasi), penerima fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang). 

Namun, MK memutuskan sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta (otomatis) memiliki kekuatan eksekutorial. Selain itu, cidera janji dalam eksekusi perjanjian fidusia harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak antara debitur dan kreditur atau atas dasar upaya hukum (gugatan ke pengadilan) yang menentukan telah terjadinya cidera janji. 

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Juru Bicara MK yang juga Hakim Konstiusi Enny Nurbaningsih menerangkan implementasi Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia terkait eksekusi jaminan fidusia ini praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan kreditur ketika menagih, menarik objek jaminan fidusia (benda bergerak) dengan dalih debitur cidera janji.

Persoalannya, kata Enny, kapan waktu terjadinya cidera janji tersebut tidak ada penjelasan dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia itu, apakah saat masih berlangsung angsuran atau jatuh tempo, atau pada saat kapan? Menurutnya, bagi MK cidera janji ini harus ada kejelasan kapan waktu terjadinya.

“Dalam pertimbangan putusan MK itu sudah jelas, bahwa (klausul, red) cidera janji harus dibuat (disepakati, red) para pihak. Kalau para pihak tidak ada kesepakatan, maka pelaksanaan eksekusi melalui putusan pengadilan sesuai HIR dan RBg,” ujar Enny Nurbaningsih saat dihubungi Hukumonline, Kamis (16/1) lalu.

Dengan demikian, persoalan cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia tidak langsung diselesaikan melalui pengadilan. Namun, harus didahului kesepakatan para pihak untuk menentukan kapan terjadinya tuduhan cidera janji tersebut. Jika sudah ada kesepakatan para pihak, kreditur dapat langsung mengeksekusi. “Sebenarnya tujuan putusan ini untuk melindungi kepentingan para pihak baik debitur maupun kreditur,” kata Enny.

Menurutnya, praktik tindakan perampasan objek jaminan fidusia - seperti kendaraan bermotor sebagai wujud penerapan Pasal 15 UU Jaminan Fidusia - oleh debt collector sebagai perbuatan melawan hukum. “Tindakan perampasan itu tidak diperbolehkan. Jadi, dasar penarikan objek jaminan fidusia harus ada cidera janji, tapi cidera janji itu juga harus ada kesepakatan para pihak, tidak bisa sepihak untuk menghindari kesewenangan,” terangnya.

“Misalnya, jika para pihak sudah sepakat kapan terjadinya cidera janji, lalu salah satu pihak cidera janji yang sudah disepakati bersama, itu tetap saja debt collector tidak boleh langsung menarik (objek, red) barang yang diperjanjikan, harus melalui kesepakatan mereka dulu," katanya.

Tags:

Berita Terkait