Pasca Inpres Moratorium, Petani Minta Kejelasan Pelepasan Kawasan Hutan
Berita

Pasca Inpres Moratorium, Petani Minta Kejelasan Pelepasan Kawasan Hutan

Sepanjang 2018, petani sawit diakui mengalami keresahan akibat harga TBS yang turun drastis. Pengawasan Pemerintah dibutuhkan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Meskipun amanah alokasi 20% kawasan hutan kepada petani telah diatur dalam tiga rezim sektoral, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 51 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi; ada UU Perkebunan yang berada di bawah Kementerian Pertanian, dan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 7 Tahun 2017 tentang Hak Guna Usaha.

Pasal 4 ayat (2A) Peraturan Menteri LHK di atas mengatur legalisasi pemenuhan kewajiban kebun masyarakat seluas 20% dari kawasan hutan yang dilepaskan dan dapat diusahakan oleh perusahaan perkebunan. Jadi, selain pelepasan kawasan hutan seluas 20%, kawasan hutan yang dilepaskan tersebut harus bisa diusahakan oleh perusahaan perkebunan. Menurut Bayu, 20% lahan akan dihitung berdasarkan luas kawasan yang dapat diusahakan. Ini bisa menjawab lahan seperti apa yang bisa diusahakan.

Data Pusat Studi Agraria IPB menyebutkan alokasi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) mencapai 437 ribu hektare. Dari tujuh kriteria TORA, kriteria pertama yang disebut adalah kawasan pelepasan hutan. Masalahnya, setelah kawasan hutan dilepas, ada kesulitan menentukan luas lahan yang bisa diusahakan perkebunan karena bergantung pada karakteristik hutan. Dari jumlah yang bisa diusahakan, barulah ditentukan 20% yang akan dilepaskan kepada petani.

Berdasarkan data Kementerian Perekonomian, kata Bayu, ada 167 perusahaan yang memperoleh alokasi pelepasan kawasan hutan. Dari jumlah tersebut baru 41 perusahaan yang sudah mengurus HGU.

(Baca juga: Perubahan Status Tanah Perkebunan dari Hutan Produksi Terbatas Menjadi Hak Guna Usaha).

Selain itu, subjek penerima lahan masih menjadi pertanyaan. Apakah orang yang berada satu desa di kawasan hutan yang akan dilepas atau bisa dari daerah lain. Karakter demografi penduduk di sekitar kawasan hutan di Papua dan Kalimantan bisa berbeda. Menurut Bayu, Pemerintah perlu membuat spectrum prioritas penerima pelepasan kawasan hutan berdasarkan pendekatan domisili. Jika tidak ada warga masyarakat di sekitar kawasan pelepasan, maka warga luar boleh diizinkan. Untuk itu, perlu ada sinergi dengan Kementerian Desa untuk mengetahui potensi warga miskin di daerah sekitar kawasan pelepasan. Warga yang dulu tanahnya dirampas perkebunan juga bisa menjadi prioritas.

Skema prioritasnya bisa dibagi. Pertama, penduduk yang bertempat tinggal atau bermukim di sekitar kawasan alokasi 20% lahan perkebunan. Kedua, petani yang bertempat tinggal atau bersedia tinggal di desa atau kelurahan yang berbatasan dengan kawasan pelepasan. Ketiga, penduduk yang bertempat tinggal tidak di wilayah lokasi pelepasan.

Masalah lain yang perlu dipikirkan adalah batasan luas lahan yang dimiliki seorang petani. Penting untuk membatasi pembagian agar tidak terkonsentrasi di tangan satu dua orang. Selain itu, perlu dibangun kesepahaman mengenai penggunaan lahan untuk usaha sendiri, tidak ditelantarkan, dan tidak ada pengalihan ha katas lahan yang dilepaskan. Jangan sampai lahan berubah fungsi. “Untuk itu perlu program pemberdayaan,” pungkas Bayu.

Tags:

Berita Terkait