Pasca Inpres Moratorium, Petani Minta Kejelasan Pelepasan Kawasan Hutan
Berita

Pasca Inpres Moratorium, Petani Minta Kejelasan Pelepasan Kawasan Hutan

Sepanjang 2018, petani sawit diakui mengalami keresahan akibat harga TBS yang turun drastis. Pengawasan Pemerintah dibutuhkan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Konflik ini oleh SPKS dipandang sebagai akibat dari pola kemitraan manajemen satu atap. Dalam kemitraan ini petani tidak memiliki hak untuk pengelolaan dan hak atas kebun. Walaupun kebijakan moratorium hendak mempercepat pembangunan kebun plasma sebesar 20% dari luasan yang dibangun perusahaan, namun hal itu tetap belum menyentuh kebutuhan pokok petani. “Seperti alokasi untuk perusahaan masih sebesar 80% dan tidak menyentuh pola kerjasama antara kedua belah pihak,” ujar Marselinus.

Sepanjang 2018, petani sawit diduga mengalami keresahan akibat harga TBS yang turun drastis tanpa langkah berarti dari Pemerintah. SPKS mencatat, kondisi ini terjadi di seluruh wilayah perkebunan kelapa sawit hingga mencapai harga terendah, yaitu Rp500–Rp1.050 per kilogram. Ini akibat skema pembelian TBS bagi petani sawit belum diatur secara tepat untuk membangun kemitraan antara petani kelapa sawit mandiri dan perusahaan sebagai pembeli TBS. Meski ada harga pemerintah sebagai acuan, praktknya, perusahaan tetap menetapkan harga pembelian TBS di tingkat pabrik “Pemerintah tidak melakukan pengawasan terhadap pembelian yang dilakukan oleh tengkulak yang bekerja sama dengan pabrik. Saat ini, kurang lebih 32% petani mandiri menjual ke tengkulak,” tambah pejabat Departemen Komunikasi SPKS, Dian Maya Sari.

Dalam konteks ini, SPKS meminta ketegasan dan konsistensi Pemerintah agar Badan Pengelola Dana Perkebunan-Kelapa Sawit (BPDP-KS) tidak mengalokasikan dana untuk subsidi biodiesel. Subsidi biodiesel berdampak pada munculnya praktik kutipan BPDP-KS. Kutipan ini  telah menurunkan harga CPO lokal yang berakibat rendahnya harga TBS hingga Rp125-150 per kilogram. Penghitungan harga TBS berdasarkan harga CPO lokal.

Subsidi biodiesel mendorong ekspansi perkebunan besar yang berakibat pada hilangnya wilayah-wilayah moratorium untuk kepentingan industri biodiesel dan mengakibatkan kelebihan suplai (oversupply). Jika terjadi oversupply, petani tidak bisa menjual TBS ke pabrik-pabrik milik perusahaan karena CPO melimpah. Hal ini diperparah dengan kondisi pemberdayaan petani dan pembenahan sektor perkebunan kelapa sawit secara menyeluruh tidak berjalan akibat buruknya tata kelola BPDP-KS untuk pembangunan berkelanjutan dan rendahnya perhatian untuk pemberdayaan dan tata kelola bagi petani-petani sawit mandiri.

(Baca juga: Walhi Anggap Moratorium Sawit Positif, Tapi…).

Sebenarnya pada awal kemunculan BPDP-KS di 2015, SPKS menyambut baik BPDP-KS. BPDP-KS dipandang dapat menjawab masalah yang dihadapi oleh petani yang tidak pernah diselesaikan oleh negara. Namun dalam perjalanannya, BPDP-KS dinilai hanya bekerja sekitar  2% dan hanya untuk replanting.

Oleh karena itu, pada tahun 2017, SPKS sempat melayangkan permohonan uji materi Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan terhadap UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. PP itu menambah tujuan penghimpunan dana. SPKS menduga ada penyelundupan hukum di situ, yakni penambahan tujuan penghimpunan dana. “Itu yang kami sebut penyelundupan hukum,” kata Marselinus.

Belum Diatur

Hingga kini, kriteria jenis lahan dan mekanisme pelepasannya kepada petani sawit belum diatur secara jelas. Ini yang mengakibatkan munculnya persoalan dalam pengalokasian 20 % kawasan hutan terus berulang. “Bagaimana mekanisme pelaksanaannya belum ada,” ujar Kepala Divisi Kebijakan Agraria di Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor, Bayu Eka Yulian.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait