Pasal Ancaman Pidana Terhadap Lembaga Survei Dicabut
Berita

Pasal Ancaman Pidana Terhadap Lembaga Survei Dicabut

Tidak ada bukti quick count menganggu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di masyarakat.

Mys
Bacaan 2 Menit
Pasal Ancaman Pidana Terhadap Lembaga Survei Dicabut
Hukumonline

 

Pemerintah dan DPR berpendapat sebaliknya. Sebagaimana terungkap di persidangan, Pemerintah sangat khawatir pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang dapat menganggu ketertiban masyarakat dan kelancaran penyelenggaraan pemilu. Pengumuman hasil pemilu yang dilakukan oleh lembaga survei pada masa tenang dapat mempengaruhi keputusan dan kebebasan masyarakat untuk memilih sesuai kehendaknya.

 

Rupanya, Mahkamah Konstitusi tidak sepaham dengan Pemerintah. Merujuk pada kebebasan akademik dan mimbar akademik yang dijamin Konstitusi, Mahkamah menilai bahwa pasal-pasal 245 ayat (2), dan ayat (3), serta pasal 282 dan 307 UU Pemilu mengekang kebebasan berekspresi. Segala bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, lebih-lebih terhadap kegiatan yang berbasis metodologi ilmiah, tidak sejalan dengan semangat reformasi dan jiwa UUD 194, tegas Mahkamah dalam salah satu pertimbangannya.

 

Karena itu pula, Mahkamah tidak hanya ‘mencabut' keberlakuan pasal 282 dan 307, tetapi juga pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu. Selain itu, Mahkamah juga menyatakan Pasal 245 ayat (5) sepanjang mengenai frasa ayat (2), ayat (3), dan.. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Dengan putusan itu berarti lembaga-lembaga survei boleh mengumumkan jajak pendapat pada masa tenang, dan boleh mengumumkan hasil quick count pada hari H pencoplosan. Bagi Mahkamah, jajak pendapat dan perhitungan cepat hasil pemungutan suara dengan menggunakan metode ilmiah adalah suatu bentuk pendidikan, pengawasan, dan penyeimbang dalam proses penyelenggaraan negara, termasuk pemilihan umum.

 

Tetap bisa kena sanksi

Pada bagian lain pertimbangannya, Mahkamah berpandangan sejauh dilakukan dengan metode ilmiah dan tidak bertendensi mempengaruhi pemilih pada masa tenang, maka pengumuman hasil survei tidak dapat dilarang, apalagi dikriminalisasi. Kekhawatiran Pemerintah atas gangguan ketertiban umum dinilai tidak didukung fakta. Tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil quick count telah menganggu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di masyarakat.

 

Karena itu, Mahkamah menganulir pasal larangan dan ancaman pidana bagi lembaga survei dalam UU Pemilu. Meskipun demikian, bukan berarti lembaga survei sejenis lolos dari ancaman pidana sama sekali. Menurut Mahkamah, jika survei bertendensi merugikan salah satu kontestan pemilu, penyelenggaranya tetap bisa dikenakan pasal 89 UU Pemilu dan sanksi yang menyertainya. Pasal 89 mengatur tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye.

 

Mahkamah Konstitusi menyatakan dua pasal yang berisi ancaman pidana terhadap lembaga survei atau penyelenggara jajak pendapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu). Kedua rumusan yang dicabut kekuatan hukum mengikatnya adalah Pasal 282 dan Pasal 307.

 

Pasal 282 memuat kriminalisasi terhadap siapapun yang mengumumkan hasil survei atau hasil jajak pendapat pada masa tenang. Pelaku tindak pidana ini bisa terancam 3 sampai 12 bulan penjara atau denda Rp3 juta sampai Rp12 juta. Rumusan lain, Pasal 307, memuat ancaman 6 sampai 18 bulan penjara atau denda Rp6 juta sampai 18 juta kepada siapapun yang mengumumkan perhitungan cepat alias quick count pada hari/tanggal perhitungan suara.

 

Putusan menganulir kedua pasal tersebut dibacakan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang Senin (30/3) kemarin. Menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, tandas Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD.

 

Putusan setebal 79 halaman itu merupakan jawaban Mahkamah atas permohonan yang diajukan Denny Yanuar Ali, Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia yang juga Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia; dan Umar S Bakry, Sekretaris Jenderal Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia. Selain mempersoalkan ancaman pidana tadi, kedua pemohon meminta larangan mengumumkan hasil survei dan quick count dalam Pasal 245 UU Pemilu dihapuskan. Sebab, larangan semacam itu tidak memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum kepada para pegiat riset opini publik. Survei bukan hanya meneliti popularitas kandidat, tetapi juga mengenai tata cara pemilu yang berguna untuk meningkatkan kualitas pemilu.

 

Demikian pula perhitungan cepat. Quick count tidak pernah diklaim sebagai hasil resmi pemilu. Sesuai dengan namanya, quick count adalah perhitungan cepat yang dilakukan secara ilmiah, menggunakan metode terukur. Melarang perhitungan cepat sama saja menghambat ilmu pengetahuan, kata Andi M. Asrun, pengacara kedua pemohon.

Tags: