Pasal 184 (1) KUHAP: Kendala Pembuktian Cybercrime?
Kolom

Pasal 184 (1) KUHAP: Kendala Pembuktian Cybercrime?

Hukumonline menurunkan artikel berjudul "Modus Operandi Cybercrime Makin Canggih" pada 3 Januari 2003. Pada artikel tersebut tertulis: "…Satu hal yang bisa dipastikan menerima dampak dari penggunaan media khusus ini adalah alat bukti yang digunakan untuk pembuktian di muka persidangan. Pada sebagian besar kasus yang terjadi, jangan harap ditemukannya alat bukti tertulis--surat dalam arti konvensional--seperti yang disyaratkan oleh Pasal 184 KUHAP.

Bacaan 2 Menit

Alat-alat bukti

Dari ilustrasi-ilustrasi di atas, penulis mencoba menggunakan cara berfikir pihak yang berargumentasi bahwa Pasal 184 KUHAP tidak cukup memadai untuk menjerat pelaku cybercrime. Pasalnya, 'alat-alat bukti' yang berkaitan dengan kejahatan yang mereka lakukan tidak dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan- untuk ketiga contoh kasus di atas.

Berdasarkan cara berfikir di atas, seharusnya yang menjadi alat bukti yang diajukan penuntut di persidangan pada ilustrasi I adalah linggis yang dipergunakan untuk membuka pintu rumah yang dicuri oleh A. Pada ilustrasi II, yang seharusnya menjadi alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum adalah surat B kepada Mr. Y yang berisi rencana pembunuhan. Dan pada ilustrasi III, yang seharusnya menjadi alat bukti adalah majalah porno produksi C. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Pasal 184 (1) KUHAP juga memuat linggis, surat seperti surat B kepada Mr. Y, dan majalah atau gambar porno?

Kalau kita lihat dari Pasal 184 (1) KUHAP tersebut yang dimaksud dengan alat bukti adalah: (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa.

Berdasarkan ketentuan mengenai alat bukti yang sah tersebut, coba kita cocokan dengan ketiga 'alat bukti' tersebut untuk melihat apakah ketiga 'alat bukti' tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Pertama, keterangan saksi. Pada Pasal 1 angka 27 disebutkan bahwa keterangan saksi adalah& keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, tentunya ketiga 'alat bukti' tersebut tidak dapat disebut sebagai keterangan saksi.

Kedua, keterangan ahli. Pasal 1 angka 27 disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Apakah linggis termasuk dalam kategori ini? Tentunya tidak.

Ketiga, surat. Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

Halaman Selanjutnya:
Tags: