Panja RKUHP Kaji Ulang Rumusan Pasal Penodaan Agama
Berita

Panja RKUHP Kaji Ulang Rumusan Pasal Penodaan Agama

Panja RKUHP tetap mempertahankan keberadaaan pasal penodaan agama dalam RKUHP. Tanpanya justru sangat potensial menimbulkan konflik yang semakin pelik antar umat beragama yang penyelesaiannya dengan jalannya masing-masing.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Namun bagi Arsul, keberadaan pasal penodaan agama justru menjaga agar tidak saling mudah mencela/menghina dan menjaga kerukunan serta menghormati antar umat beragama. Menurutnya, insiden putusan terhadap terdakwa kasus dugaan penodaan agama.

 

Justru dirinya sangat khawatir jika pasal penodaan agama dihapus dari RKUHP sangat potensial menimbulkan konflik yang semakin pelik antar umat beragama. Imbasnya, banyak pihak yang memanfaat, bahkan menentukan jalannya masing-masing untuk menyelesaikannya. Karenanya, Arsul lebih sepakat memperbaiki rumusan norma pasal penodaan agama dalam RKUHP ketimbang menghapusnya.

 

Akhir-akhir saja, kata dia, memasuki tahun politik gesekan yang menggunakan isu agama  tak dapat dihindari. “Sebaiknya dirumuskan kembali, dibanding menghapusnya. Kalau pasal ini coba dihapuskan, akan ada elemen masyarakat yang mengambil jalur hukumnya sendiri-sendiri. Nanti muncul dark justice (pengadilan jalanan, red),” ujarnya.

 

Terpisah, anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Anggara Suwahju memaklumi keengganan Panja RKUHP menghapus pasal penodaan agama di RKUHP. Menurutnya, alasan  merumuskan ulang norma pasal penodaan agama tidak melulu didasarkan adanya kasus Meilina.

 

“Apa perbaikan perlu ada kasus? Dulu soal ancaman hukuman sempat berubah menjadi 2 tahun, sekarang balik 5 tahun tanpa ada alasan. Prioritasnya mestinya kriminalisasi propaganda kebencian, termasuk ya memfasilitasinya,” harapnya.

 

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu berpandangan jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dijamin dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Menurut Anggara, dalam komentar umum Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik No 34, telah diserukan delik penghinaan bukan merupakan ranah hukum pidana.

 

“Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait