Panja RKUHP Kaji Ulang Rumusan Pasal Penodaan Agama
Berita

Panja RKUHP Kaji Ulang Rumusan Pasal Penodaan Agama

Panja RKUHP tetap mempertahankan keberadaaan pasal penodaan agama dalam RKUHP. Tanpanya justru sangat potensial menimbulkan konflik yang semakin pelik antar umat beragama yang penyelesaiannya dengan jalannya masing-masing.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Desakan agar rumusan norma yang mengatur penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapat respon positif DPR. Pasalnya, Panja RKUHP di DPR berencana bakal memperbaki atau mengkaji ulang rumusan norma pasal penodaan agama sebagaimana tertuang dalam Pasal 326, 327, dan 328 RKUHP.

 

Pernyataan ini disampaikan Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik kepada Hukumonline di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (29/8/2018). “Iya nanti kita perbaiki. Karena kalau dihilangkan tidak mungkin juga. Karena kalau di kampung saja ada orang nonmuslim merobek-robek al-Qur’an, tidak ada hukumnya kan repot juga kita,” kata dia.

 

Menurutnya, Panja RKUHP telah sepakat meredefinisi ulang rumusan norma dalam pengaturan tindak pidana penodaan agama dalam RKUHP. Hanya saja, Panja RKUHP DPR belum bertemu dengan tim pemerintah untuk melakukan pembahasan lanjutan. Dia memprediksi pertemuan dengan tim pemerintah bakak dilakukan pada pekan-pekan depan.

 

Erma yang juga tercatat sebagai anggota Panja RKUHP itu mengungkapkan pembahasan terakhir dengan pemerintah belum menemui titik temu terhadap sejumlah isu pasal penodaan agama yang menjadi perhatian publik. Karenanya, Panja RKUHP bersikap pasif sambil menunggu kelanjutan pembahasan dari tim pemerintah.

 

“(Yang pasti) Saya sepakat pasal itu harus redefinisi ulang lagi supaya orang tidak sedikit-sedikit kena (hukum). Ini supaya demokrasi kita bisa lebih sehat, tetapi juga tetap menghormati nilai-nilai agama. Kita ini bangsa yang beragama, dan kita juga mau meredefinisi ulang yang lebih menjamin demokrasi,” ujar politisi Partai Demokrat itu. Baca Juga: Kasus Meiliana, Momentum ‘Rombak’ Pasal Penodaan Agama di RKUHP

 

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 326

Setiap Orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.

Pasal 327

(1)   Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar,atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.

(2)   Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf h.

Pasal 328

Setiap Orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

 

Anggota Panja RKUHP lainnya, Arsul Sani mengatakan keberadaan pasal penodaan agama dalam RKUHP tetap mesti dipertahankan. Namun, memang mesti diperbaiki rumusan normanya. Arsul memahami upaya dan desakan sejumlah pihak yang mengusulkan agar dihapus pasal penodaan agama dalam RKUHP. Melalui, kasus Meilina yang dijadikan media kampanye sejumlah pihak agar dihapuskannya pasal penodaan agama ini.

 

Namun bagi Arsul, keberadaan pasal penodaan agama justru menjaga agar tidak saling mudah mencela/menghina dan menjaga kerukunan serta menghormati antar umat beragama. Menurutnya, insiden putusan terhadap terdakwa kasus dugaan penodaan agama.

 

Justru dirinya sangat khawatir jika pasal penodaan agama dihapus dari RKUHP sangat potensial menimbulkan konflik yang semakin pelik antar umat beragama. Imbasnya, banyak pihak yang memanfaat, bahkan menentukan jalannya masing-masing untuk menyelesaikannya. Karenanya, Arsul lebih sepakat memperbaiki rumusan norma pasal penodaan agama dalam RKUHP ketimbang menghapusnya.

 

Akhir-akhir saja, kata dia, memasuki tahun politik gesekan yang menggunakan isu agama  tak dapat dihindari. “Sebaiknya dirumuskan kembali, dibanding menghapusnya. Kalau pasal ini coba dihapuskan, akan ada elemen masyarakat yang mengambil jalur hukumnya sendiri-sendiri. Nanti muncul dark justice (pengadilan jalanan, red),” ujarnya.

 

Terpisah, anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Anggara Suwahju memaklumi keengganan Panja RKUHP menghapus pasal penodaan agama di RKUHP. Menurutnya, alasan  merumuskan ulang norma pasal penodaan agama tidak melulu didasarkan adanya kasus Meilina.

 

“Apa perbaikan perlu ada kasus? Dulu soal ancaman hukuman sempat berubah menjadi 2 tahun, sekarang balik 5 tahun tanpa ada alasan. Prioritasnya mestinya kriminalisasi propaganda kebencian, termasuk ya memfasilitasinya,” harapnya.

 

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu berpandangan jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dijamin dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Menurut Anggara, dalam komentar umum Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik No 34, telah diserukan delik penghinaan bukan merupakan ranah hukum pidana.

 

“Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait