Pandemi Global dan Imperialisme Digital
Kolom

Pandemi Global dan Imperialisme Digital

​​​​​​​Indonesia sebagai target pasar yang empuk bagi perusahaan teknologi harus mendapatkan manfaat dan keuntungan dari aktivitas pasar digital.

Bacaan 7 Menit

Desakan global sesuai Paris Call maka internet diharapkan menjadi wadah yang ‘Trusted and Secure’. Sistem hukum harus dapat memberikan kejelasan atas source code dan fungsinya atau keandalan dan keamanan serta tanggugjawab hukumnya. Secara hukum system komunikasi yang digunakan harus dapat menjamin kaedah hukum keamanan informasi, yakni; confidentiality, integrity, availability, authorization, authenticity dan non-repudiation sehingga mempunyai nilai pembuktian secara hukum.

Terhadap aplikasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia tentu perlu dikenal atau terdaftar dan layak menuntut pihak pengembang untuk menjamin akses dan ketersediaan kode sumber (source code) aplikasi.

Aturan pembukaan source code secara mandatori tidak hanya di Tiongkok dan India, ternyata wacana pembukaan kode sumber juga belakangan didukung oleh pakar AS terhadap TikTok karena aplikasi tersebut dianggap membahayakan keamanan nasional AS (Gonzales, dkk., 2020). Ironisnya, semula AS-lah yang selama ini negara berkembang yang mengharuskan aplikasi untuk membuka kode sumbernya.

Perusahaan-perusahaan teknologi multinasional, baik itu produsen hardware dan software yang terkonsentrasi di negara-negara maju menjadi permasalahan hukum tesendiri. Bagaimana bila perusahaan-perusahaan tersebut yang berada di yurisdiksi asing, bila melanggar kepentingan hukum negara (dan warga negara) negara lain, contoh Indonesia?

Kita patut mengingat skandal Cambridge Analytica, di mana perusahaan pihak ketiga melakukan profiling data Facebook tanpa persetujan pengguna. Dalam infrastruktur hardware misanya, Pemerintah negara-negara Barat telah mewaspadai potensi ancaman terhadap keamanan nasional yang ditimbulkan oleh penggunaan perangkat keras telekomunikasi. Kita tidak bisa lagi menjadi naif dengan menganggap semua teknologi itu bersifat netral. Sesungguhnya teknologi merupakan perwujudan supremasi serta hegemoni dan juga social construction of technology.

Di tengah globalisasi ekonomi digital, Indonesia tetap harus membangun ketahanan nasional melalui penguasaan teknologi dan perlindungan hukum. Tidak hanya tentang kejelasan kode sumber dan kepastian tata kelola TIK yang baik, tetapi juga termasuk perlindungan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan atas data pribadi.

Di tahun 2020 disayangkan RUU Perlindungan Data Pribadi belum dapat disahkan oleh Parlemen. Tentunya dengan harapan baru di tahun 2021 nanti RUU PDP harus segera diwujudkan untuk menegakkan kedaulatan nasional dan perlindungan hukum yang komprehensif terhadap data pribadi warga negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait